Sunday, August 21, 2022

Pengertian Hadits Tarbawi

 

1.    Pengertian Hadits Tarbawi
Hadits secara etimologi berarti cara atau jalan hidup yang biasa dipraktekkan, baik ataupun buruk. Secara terminologi, Hadits adalah segala sesuatu yang dinisbatkan (disandarkan) kepada Nabi saw., baik perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), sikap/ketetapan (taqriri) maupun sifat fisik dan psikis Rasulullah saw.
Untuk memberikan pengertian tentang Tarbawi, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata “Tarbawi” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna : Pendidikan, pengasuhan dan pemeli
hara
Taqiyuddin M. menyebut potensi manusia ini berupa seperangkat instrument dan content pendidikan yaitu akal pikiran (al-'aql), hati nurani (nur al-qalb) dan panca indera. Melalui seperangkat instrument dan content pendidikan itulah sehingga begitu manusia lahir di atas bumi ini ia telah siap menerima ajaran dari alam (macro cosmos) atau dari manusia lain (micro cosmos) yang telah lebih dulu ada sekaligus memberikan materi pendidikan.
Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan, manusia memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan kelebihannya manusia ada yang bisa diajar, dibimbing, dibina dan dilatih sehingga perilaku sosialnya menjadi baik. Inilah yang dimaksud bahwa fungsi pendidikan adalah mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang lebih baik. Dan dengan kelemahannya manusia tidak henti-hentinya berfikir, bertindak, belajar dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya demi tercapainya tujuan yang dikehendakinya.
Menurut Sayyid Quthb bahwa apabila manusia merenungkan penciptaannya dan bentuk tubuhnya, panca indera dan anggota-anggota tubuhnya, dan kekuatan serta pengetahuannya, maka dia pasti mengakui bahwa Allah adalah Maha Pencipta. Karena tidak ada seorang pun selain Allah yang mampu menciptakan alam semesta yang sangat mengagumkan ini, baik yang kecil maupun yang besar. 
Yang dimaksud dengan bersyukur di ayat ini ialah menggunakan alat-alat tersebut untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan, yang dapat membawa mereka beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya. Kaum musyrikin memang tidak berbuat demikian. 
Ayat ini juga menjelaskan tentang potensi yang diberikan Allah SWT kepada manusia berupa pendengaran, penglihatan dan hati (akal) supaya dijadikan alat untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.
Untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, maka manusia perlu pendidikan. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk Allah yang dibekali dengan berbagai kelebihan, di antaranya kemampuan berfikir, kemampuan berperasaan kemampuan mencari kebenaran dan kemampuan lainnya. Kemampuan-kemampuan tersebut tidak akan berkembang apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan.
Allah SWT dengan jelas memerintahkan kita untuk "Iqra'" dalam surat Al-Alaq yang merupakan kalamullah pertama pada Rasulullah SAW. Iqra' di sini tidak bisa diartikan secara sempit sebagai bacalah, tetapi dalam arti luas agar manusia menggunakan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah Allah SWT berikan sebagai khalifah fil ardl. Sehingga pendidikan merupakan sarana untuk melaksanakan dan perwujudan tugas manusia sebagai utusan Allah di muka bumi ini.
Diriwayatkan oleh Adh-Dhahhak bahwa Ibnu Abbas bercerita mengenai ayat ini, bahwa tatkala Allah mengutus Muhammad sebagai Rasul, banyak diantara orang-orang Arab yang tidak mau menerima kenyataan itu dan beranggapan bahwa lebih agung untuk mengutus seorang manusia sebagai Rasul-Nya. 
Menuntut ilmu merupakan kewajiban kita selaku umat Muslim, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW yang artinya: "Mencari ilmu itu wajib bagi muslim dan muslimat dari kandungan sampai liang lahat" (HR. Baihaqi) 

Dalam Tafsir Al-Misbah kata "attabi'uka" ( ) asalnya adalah "atba'uka" dari kata "tabi'a", yakni mengikuti. Penambahan huruf "ta'" pada kata "attabi'uka" mengadung makna kesungguhan dalam upaya mengikuti itu. Ucapan Nabi Musa as, berikutnya sungguh sangat halus. Beliau tidak menuntut untuk diajar tetapi permintaannya diajukan dalam bentuk pertanyaan, "Bolehkan aku mengikutimu?" kemudian beliau menamai pengajaran yang diharapkannya itu sebagai ikutan, yakni beliau menjadikan diri beliau sebagai pengikut dan pelajar. Di sisi lain, beliau mengisyaratkan keluasan ilmu hamba yang shaleh itu (al-khidhr) sehingga Nabi Musa as. Hanya mengharap kiranya dia mengajarkan sebagian dari apa yang telah diajarkan kepadanya. Dalam konteks itu, Nabi Musa as. tidak menyatakan "apa yang engkau ketahui wahai hamba Allah", Karena beliau sepenuhnya sadar bahwa ilmu pastilah bersumber dari satu sumber, yakni dari Alla Yang Maha Mengetahui. 
Pelajaran yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah bahwa kita dalam menuntut ilmu itu harus bertekad untuk bersungguh-sungguh mencurahkan perhatian bahkan tenaganya terhadap apa yang akan kita pelajari. Pepatah mengatakan: "Man jadda wajadda" (barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan sesuatu, maka pasti akan berhasil).
 Didalam QS At-Tahrim ayat 6 ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa kita harus menjaga diri kita dan keluarga dari siksa api neraka. Ayat ini juga mengisyaratkan tentang pentingnya pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama.
Adapun bidang pendidikan yang diperankan oleh keluarga menurut Hasan Langgulung ada tujuh bidang pendidikan, yaitu: pendidikan jasmani, kesehatan, akal (intelektual), keindahan, emosi dan psikologi, agama dan spiritual, akhlak, sosial dan politik. 
Orang tua dalam keluarga harus sejak dini memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda:
مُرُوا الصَّبِيَّ بِالصَّلاَ ةِ اِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِيْنَ وَاِذَا بَلَغَ عَشْرَ
سِنِيْنَ فَاضْرِبُوْهُ عَلَيْهَا
Artinya: "Perintahkanlah anak melakukan shalat, apabila telah mencapai usia tujuh tahun. Kalau sudah berumur sepuluh tahun, sedang anak itu tidak melaksanakan perintah, maka pukullah dia".(HR. Muslim)
 Mengapa orang tua dituntut untuk memerintahkan anak yang masih kecil untuk melakukan shalat? Maksudnya, agar anak itu terbiasa, sehingga kelak sudah baligh, shalat itu menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan.
Dalam terjemah singkat tafsir Ibnu Katsir  ada tiga sahabat yang menafsirkan ayat ini, yaitu:
Pertama, Berkata Ibnu Abbas: "Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang dan meninggalkan Rasulullah SAW seorang diri".
Kedua, Berkata Qatadah: "Jika Rasulullah Saw mengirim pasukan, maka hendaklah sebagian pergi ke medan perang, sedang sebagian lain tinggal bersama Rasulullah saw. untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama, kemudian dengan pengetahuan yang mereka peroleh itu, hendaklah mereka kembali kepada kaumnya untuk memberi peringatan kepada mereka".
Ketiga, Berkata Adh-Dhahhak: "Jika Rasulullah saw. mengajak berjihad (perang total) maka tidak boleh tinggal dibelakang kecuali mereka yang beruzur. Akan tetapi jika Rasulullah saw. menyerukan sebuah "sariyyah" (perang terbatas), maka hendaklah segolongan pergi ke medan perang dan segolongan tinggal bersama Rasulullah saw memperdalam pengetahuannya tentang agama, untuk diajarkan kepada kaumnya bila kembali".
Ayat ini mengingatkan orang tua dalam keluarga agar mementingkan pendidikan agama bagi anak-anaknya. Orang tua boleh kemana saja menyekolahkan anak-anaknya (mencari ilmu umum) tapi jangan lupa dibekali ilmu dan pengalaman agama. Orang tua hendaknya menjadikan anak-anaknya sebagai orang intelek yang ulama atau ulama yang intelek. Hal ini akan tercapai apabila mempunyai kedua ilmu tersebut, yakni ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Nabi pernah bersabda:
 
من اَرَادَ الدُّنيا فعليهِ بالعلمِ, ومن اراد الاخرةَ فعليهِ بالعلمِ, ومن ارادهما فعليهِ بالعلمِ
Artinya: "Barangsiapa menghendaki hidup (kebaikan) di dunia maka kepadanya dengan ilmu dan barangsiapa menghendaki kehidupan (baik) di akherat maka dengan ilmu dan barangsiap menghendaki keduanya maka juga dengan ilmu" (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Miftahurrobbani, bahwa salah satu pokok kelemahan umat Islam adalah kebodohan putra-putri umat Islam akan agamanya. 
Hal ini dapat kita pahami, karena orang tua kadang-kadang kurang menyadari keseimbangan pendidikan terhadap anak-anaknya. Orang tua mendidik anak agar dapat membaca Koran, tetapi lupa untuk mendidik anak membaca Al-Qur'an. Orang tua mengajar anak agar dapat menghormati sesama teman, tetapi lupa mengajar anak agar dapat menghormati Tuhan. Pendek kata, orang tua menyekolahkan anaknya agar pandai dalam pengetahuan umum, tetapi lupa menyekolahkan anaknya agar pandai dalam pengetahuan agama.
2.2.    Ruang Lingkup Hadita Tarbawi
Pendidikan sebagai ilmu, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas karena di dalamnya banyak aspek yang ikut terlibat, baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun ruang lingkup pendidikan  adalah :
1.    Perbuatan Mendidik
2.    Anak Didik
3.    Dasar dan Tujuan Pendidikan
4.    Pendidik
5.    Materi Pendidikan
6.    Metode Pendidikan
7.    Alat Pendidikan
8.    Evaluasi Pendidikan
9.    Lingkungan Pendidikan (Nur Uhbiyati, 1997 : 16).
Berikut ini akan diuraikan secara singkat mengenai beberapa aspek di atas yang merupakan ruang lingkup dari pendidikan tersebut.
    Perbuatan Mendidik
Ø
Yang dimaksud perbuatan mendidik ialah seluruh kegiatan, tindakan, dan sikap pendidik sewaktu menghadapi anak didiknya. Dalam perbuatan mendidik ini sering disebut dengan tahzib.
    Anak Didik
Ø
Anak didik merupakan unsur terpenting dalam pendidikan. Hal ini disebabkan karena semua upaya yang dilakukan adalah demi menggiring anak didik ke arah yang lebih sempurna.
    Dasar dan Tujuan Pendidikan
Ø
Dasar dan tujuan pendidikan Islam yaitu landasan yang menjadi fundamen serta sumber dari segala kegiatan pendidikan dalam hal ini dasar atau sumber pendidikan yaitu ke arah mana anak didik itu akan dibawa.
    Pendidik
Ø
Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan  banyak ditentukan oleh mereka.
    Materi Pendidikan Islam
Ø
Materi pendidikan yaitu bahan atau pengalaman-pengalaman belajar yang disusun sedemikian rupa untuk disajikan kepadaanak didik. Dalam pendidikan islam materi pendidikan sering disebut dengan Maddatut Tarbiyah.
    Metode
Ø
Metode yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam menyampaikan materinya. Metode tersebut mencakup cara pengelolaan, penyajian materi pendidikan agar materi tersebut dapat dengan mudah diterima oleh anak didik.
    Evaluasi Pendidikan
Ø
Cara-cara mengadakan evaluasi (penilaian) terhadap hasil belajar anak didik. Evaluasi ini diadakan dengan tujuan untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar selama proses pembelajaran.
    Alat-alat Pendidikan
Ø
Alat-alat pendidikan yaitu semua alat yang digunakan selama melaksanakan pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai.
    Lingkungan Pendidikan
Ø
Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan di sini ialah keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan. Lingkungan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kepribadian anak didik, olehnya itu hendaklah diupayakan agar lingkungan belajar senantiasa tercipta sehingga mendorong anak didik untuk lebih giat belajar.
















BAB III
PENUTUP
3.1.   Kesimpulan 
    Pengertian hadits Tarbawi
Ø
Hadits Tarbawi adalah hadits yang membahas pentang pendidikan yang diajarkan oleh rasulullah. Pendidikan mutlak harus ada pada manusia, karena pendidikan merupakan hakikat hidup dan kehidupan. Pendidikan berguna untuk membina kepribadian manusia. Dengan pendidikan, maka terbentuklah pribadi yang baik sehingga di dalam pergaulan dengan manusia lain, individu dapat hidup dengan tenang. Pendidikan membantu agar tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial mansuia tanpa kehilangan pribadinya masing-masing.
Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, yakni keluarga, masyarakat dan sekolah/lembaga pendidikan. Keluarga sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat berkembangnya pendidikan dan sekolah sebagai lembaga formal dalam pendidikan. Pendidikan keluarga sebagai peletak dasar pembentukan kepribadian anak. (QS. At-Tahrim 66: 6)
3.3.Ruang Lingkup Hadita Tarbawi
Adapun ruang lingkup pendidikan  adalah :
1)    Perbuatan Mendidik
2)    Anak Didik
3)    Dasar dan Tujuan Pendidikan
4)    Pendidik
5)    Materi Pendidikan
6)    Metode Pendidikan
7)    Alat Pendidikan
8)    Evaluasi Pendidikan
9)    Lingkungan Pendidikan

Sunday, July 31, 2022

Mengenal Tafsir Al-Furqan: AAhmad Hassan

 

BAB I

PENDAHULUAN

Alqur’an adalah kitab suci yang dijadikan pegangan dan rujukan umat islam dan akan kekal sepanjang masa. Tetapi banyak kalangan umat muslim yang belum dapat memahami isi yang disampaikan Alqur’an secara utuh, oleh sebab Alqur’an bersifat global(umum), maka Alquran membutuhkan penafsiran guna untuk mendapatkan subtansinya.

Atas dasar ini pula beberapa mufassir Indonesia ingin menafsirkan Alqur’an guna memberikan penjelasan yang komprehensif kepada masyarakat Indonesia, diantaranya adalah Ahmad Hassan yang telah melahirkan karya tafsirnya yaitu Tafsir alfurqan.

Disamping itupula menjelang abad ke-20 dampak Penjajahan bagi kondisi umat Islam di Indonesia terasa sampai kepada kehidupan beragama masyarakat. Pada akhirnya, rentan tahun 1900-1945 mulai bermunculan gerakan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Organisasi atau pergerakan mulai bermunculan dan mempunyai ideologi yang sangat bervariatif. Organisasai-organisasi keislaman juga mulai menunjukkan kiprahnya dalam menentang imperialisme barat. Mulai dari berdirinya Serekat Islam, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlotul Ulama, Persatuan Ulama, Persatuan Umat Islam dan organisasi keislaman lain yang menolak imperialisme barat di tanah air. Dari semua organisasi keislaman yang ada ketika itu, memiliki perbedaan pandangan ideologi, visi atau anggaran dasar yang berbeda.

Situasi ini menimbulkan keprihatinan dan memicu sejumlah tokoh ulama di Nusantara untuk bergerak mempelopori perbaikan khususnya kehidupan keislaman masyarakat.[1] Maka Ahmad Hassan merupakan salah satu tokoh yang ingin melakukan perbaikan-perbaikan keagaman umat islam melalui karya-karyanya.

Sangat menarik untuk dibahas karena beliau juga merupakan anggota dari PERSIS, selain itu penulis bermaksud untyk membahas membahas tafsir karya Ahmad Hassan ini melalui Biografi, pemikiran serta corak tafsir yang digunakan.

 

 

Rumusan Masalah:

1.      Bagaimana biografi Ahmad Hassan?

2.      Apa latar belakang dan bagaimana perkembangan Tafsir Al-Furqan?

3.      Apa  metode dan corak yang digunakan Ahmad Hassan dalam Tafsir Alfurqan?

https://shope.ee/8epboh5Iye


https://shope.ee/2fYOg4HuVe



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Biografi Ahmad Hassan

1.      Riwayat Hidup

Ahmad Hassan dilahirkan pada tanggal 31 Desember 1887 di Singapura. Beliau lahir dari pasangan keturunan India dari garis ayah maupun ibu, yaitu Ahmad yang bernama asal Sinna Vappu Maricar, dan ibu Muznah keturunan Mesir asal Madras India kelahiran Surabaya, Indonesia. Nama beliau sebenarnya adalah Hassan. Namun, sesuai tradisi keturunan India yang tinggal di Singapura, nama ayah beliau tertulis di depan nama aslinya dan jadilah nama beliau yang terkenal dengan Ahmad Hassan dan sering pula disingkat menjadi A. Hassan.[2]

Perkembangan pemikiran seseorang tidak luput dari peran orang tua, bacaan buku dan lingkungan sekitar. A. Hassan lahir di tengah-tengah keluarga yang taat beragama. Ayahnya adalah seorang yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip agama. Ketika masih di Singapura, ia melihat ayahnya tidak mengikuti tradisi talqin, tahlil dan lain sebagainya. Selain dari ayahnya, pemikiran A. Hassan juga dipengaruhi oleh tiga ulama asal India yaitu Thalib Rajab Ali, Abdurrahman, dan Jaelani, mereka juga teman dari ayahnya yang menganut paham Wahabi.

Ahmad Hassan Bandung menikah pada tahun 1911 di Singapura dengan seorang perempuan keturunan Tamil-Melayu dari keluarga pedagang dan pemegang agama. Perempuan tersebut bernama Maryam dan dialah satu-satunya istri Ahmad Hassan, yang darinya memperoleh tujuh orang anak, yaitu Abdul Qodir, Jamilah, Abdul Hakim, Zulaikha, Ahmad, M. Sa‟id, dan Manshur. Beliau meninggal dunia pada 10 November 1958, Ahmad Hassan bandung di Bangil. [3]

Demikianlah latar belakang keluarga dan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Ahmad Hassan Bandung.

2.      Riwayat Pendidikan

Ahmad Hassan memulai pendidikannya di kampung Kapur, Singapura. Hassan pertama kali memperoleh pendidikan agama langsung dari orang tuanya. Ayahnya menekankan pentingnya ilmu agama dan penguasaan bahasa kepada Hassan. Pada usia 7 tahun, Ahmad Hassan Bandung mulai belajar Agama. Pertama kali belajar Alquran dengan seorang guru perempuan selama 2 tahun lamanya. Kemudian masuk sekolah Melayu, belajar bahasa Arab, Inggris, Melayu dan Tamil. Usia 6 tahun ia belajar di sebuah sekolah Melayu di jalan Arab, hingga tingkat 4. Pada usia yang sama, Hassan juga mengikuti sekolah bahasa Inggris di Victoria Bridge School di Geylang, sampai tingkat 4. Hassan tidak pernah menamatkan sekolah dasarnya di Singapura.[4] Oleh ayahnya, A.Hassan dibina menjadi penulis seperti halnya sang ayah yang merupakan pemimpin redaksi surat kabar “Nurul Islam” di Singapura. Tidak hanya itu, A. Hassan diarahkan untuk berguru kepada sejumlah tokoh ulama di Singapura pada masanya, seperti Muhammad Thaib, Said Abdullah Al-Musawi, Abdul Lathif, Haji Hassan, dan Syekh Ibrahim India.

Dari sekian ulama itulah bakat-bakat keulamaan A.Hassan terbina dan mulai terlihat di masa mudanya. Di samping belajar, A. Hassan sejak muda ternyata sudah aktif berdagang rupa-rupa dan bekerja di banyak tempat. Tercatat pula bahwa A. Hassan pernah menjadi guru di sebuah Madrasah Islam. Kariernya berlanjut ketika dia bekerja di sebuah media massa “Utusan Melayu” sebagai penulis rubrik keagamaan. Disitulah kiranya A.Hassan mulai memberikan kontribusi dalam hal pemikiran keislaman bagi umat Islam di semenanjung Melayu dan semakin kuat menampakkan profil keulamaannya.[5]

Ahmad Hassan juga dikenal sebagai salah satu pemimpin Persis yang memiliki andil besar dalam memberikan orientasi ajaran Islam dalam gerakan Persis. Pengetahuan dan pemahamannya tentang agama Islam telah memberikan bentuk nyata dan karakter tersendiri bagi Persis, sehingga kontribusi pemikiran Hassan telah menjadikan posisi organisasi Persis sebagai kelompok modernis. Pada tahun 1936, dibawah naungan Persis, Ahmad Hassan mendirikan lembaga pendidikan pesantren dengan nama Pesantren Persatuan Islam di Bandung. Selama di Bandung Ahmad Hassan juga secara rutin diundang di Majelis Fatwa Wattarjih al-Irsyad dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, keduanya organisasi reformis. Ahmad Hassan diundang untuk membicarakan isu-isu dan permasalahan seputar agama Islam.

Tujuh belas tahun lamanya, Hassan tinggal di Bandung dan menegakkan fahamnya dengan perjuangan yang tidak mudah tetapi hasilnya cukup memuaskan. Pada tahun 1941, Hassan pindah ke Surabaya. Kemudian di Bangillah Ahmad Hassan membuka percetakan kembali. Ahmad Hassan kembali membuka sekolah Pesantren Persis dan pengajian-pengajian yang dilakukan untuk umum. Selain itu, Ahmad Hassan juga selalu melakukan rutinitas seperti di Bandung termasuk menulis untuk majalah dan buku, melakukan debat terbuka membahas persoalan agama dan melakukan dakwah ajaran-ajaran Islam. Kesuksesan Ahmad Hassan di kedua kota tersebut (Bandung dan Bangil) membuat ia dijuluki dengan panggilan Hassan Bandung dan Hassan Bangil.[6]

3.      Karya- karya Ahmad Hassan

Kontribusi yang diberikan Ahmad Hassan sebagai seorang yang memiliki potensi, kemampuan memahami dan mengerti ajaran-ajaran Islam, ditambah lagi dengan semangat juangnya untuk mengembalikan umat Islam kepada Alquran dan Sunnah, semuanya itu terealisasi dengan berbagai tulisannya. Hassan banyak menulis berbagai artikel dalam majalah-majalah yang ia dan Persis terbitkan. Majalah yang pernah menerbitkan tulisan-tulisan Hassan adalah majalah Pembela Islam, al-Fatwa, al-Lisan, Majalah Aliran Islam, Lasykar Islam, Daulah Islamiyyah, Suara Ahlu Sunnah Wal Jamaah, al-Hikam, al-Muslimun, Risalah dan Pandji Islam.

Karya tulisnya dalam bentuk buku buku antara lain Apa Dia Islam? dan Ringkasan Islam, Risalah al-Madzhab, Ijma’, Qiyas, Madzhab, Taqlid, Halalkah Bermadzhab?, Djawaban Kepada Alwi bin Thahir al-Haddad, Mendjawab Buku Bantahan Tuan Hadji Husain Al-Habsji, Verslag Debat Taqlid dan al-Boerhan. Dan karya terpenting Hassan tentang Alquran adalah Tafsir al-Furqan.

Selain itu, karya lain Ahmad Hassan adalah at-Tauhid, al-Iman, dan Adakah Tuhan?, dan Bybel-Bybel. Hassan juga menerjemahkan kitab Bulughul al-Maram min Adillat al-Ahkam karya al-Hafizh Ahmad ibn „Ali ibnu Hajar al-„Asqalani dengan judul Tarjamah Bulughul Maram. Dan karya tulis Ahmad Hassan yang lain al-Mukhtar, Muhammad Rasul?, dan an-Nubuwwah, Risalah Ahmadiyah, Islam dan Kebangsaan, Membudakkan Pengertian Islam, Kedaulatan, Mereboet Kekoeasaan, dan Pemerintahan Tjara Islam, Soal-Djawab dan masih ada beberapa buku lagi karyanya yang belum terbit.

Jadi, dari beberapa karya Ahmad Hassan yang disebutkan di atas, tampaklah bahwa benar Ahmad Hassan seorang tokoh, ulama dan pemikir Islam yang pantas untuk dikenal, baik secara kepribadiannya dan juga keilmuaannya. Karya-karya darinya tentu telah sumbangsih, kontribusi dan manfaat yang luar biasa bagi khazanah Islam dan intelektual Islam di Indonesia.[7]

Pada hari Senin, 10 November 1958, A. Hassan meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Ia mewariskan banyak pembaharuan pemikiran Islam yang tidak ternilai harganya, ia salurkan pemikirannya lewat debat dan karya tulisan-tulisannya. Karya tentang berbagai tema keislaman masih beredar dan menjadi bahan bacaan sebagai ilmu yang tak ternilai, karya tulis yang paling fenomenal adalah Tafsir Al-Furqan.[8]

B.     Sejarah Kitab Tafsir Al-Furqan

1.      Latar Belakang Penulisan Kitab Tafsir Al-Furqan

Ketika A. Hassan datang ke tanah tanah Jawa pada tahun 1921, yang bertepatan dengan keadaan di Indonesia ketika itu merupakan masa-masa kebangkitan nasional yang sedang digencarkan di Indonesia. Indonesia yang sudah lama di jajah oleh bangsa Eropa mulai gerah dengan sikap imperialis mereka dan dengan berbagai kebijaksanaan politik yang dibuat oleh mereka.

Kebijakan politik tersebut ada tiga yaitu politik etis, politik pintu terbuka, dan politik asosiasi. Semua kebijakan politik tersebut apabila dilihat dari definisinya akan tampak menguntungkan bagi Indonesia. Padahal sebaliknya, dari semua kebijakan politik yang dibuat penjajah tersebut secara tidak langsung sangat merugikan dari segi kesatuan dan mental bangsa Indonesia.

Pada akhirnya, rentan tahun 1900-1945 mulai bermunculan gerakan atau organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah. Organisasi atau pergerakan mulai bermunculan dan mempunyai ideologi yang sangat bervariatif. Organisasai-organisasi keislaman juga mulai menunjukkan kiprahnya dalam menentang imperialisme barat. Mulai dari berdirinya Serekat Islam, Muhammadiyah, PERSIS, Nahdlotul Ulama, Persatuan Ulama, Persatuan Umat Islam dan organisasi keislaman lain yang menolak imperialisme barat di tanah air. Dari semua organisasi keislaman yang ada ketika itu, memiliki perbedaan pandangan ideologi, visi atau anggaran dasar yang berbeda.

Setelah ia tinggal cukup lama di Surabaya, namun tidak ada perkembagan dari perekonomian dirinya, kemudian ia memutuskan pindah ke Bandung pada tahun 1923 M dengan tujuan awal untuk belajar tenun. Semenjak di Bandung ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam. Kemudian ia mulai menetap di Bandung dan menjadi anggota resmi PERSIS pada tahun 1926 M. Ketika mulai menetap di Bandung dan menjadi anggota PERSIS, A. Hassan kembali lagi berdakwah kepada khayalak umum lewat ceramah maupun lewat karya tulisnya dan di kota Bandung ia mulai usahanya dengan memulai mengarang karya tafsir yang diberi nama Al-Furqan.

Tafsir Al-Furqan sebagai sebuah karya tulis hadir ditengah-tengah ruang yang tidak hampa. Lingkungan sekitar (Keadaan sosial-intelektual) turut mempengaruhi lahirnya tafsir, Mengingat keadaan sosial-intelektual masyarakat Indonesia di awal abad 20 yang masih monoton dengan satu referensi kitab tafsir, yaitu tafsir Jalalain dan sikap kejumudan masyarakat saat itu. Tafsir AL-Furqan menjadi sebuah refleksi dari gerakan pembaharuan yang diusung oleh A. Hassan.

Selain faktor sosial-intelektual, ada faktor ekonomi yang memunculkan tafsir ini. Mengingat A. Hassan sebagai seorang wirausahawan yang memiliki cukup banyak keahlian, mulai dari tenun, tambal ban, vulkanisir ban dan keahlian dalam menulis. Semua bidang usaha sudah ia coba semuanya, namun usaha yang dilakukannya selalu mengalami kegagalan, hingga akhirnya ia memutuskan untuk menulis sebuah karya tafsir dan beberapa buku lainnya di kota Bandung. Ternyata karya tafsir ini laku dipasaran dengan baik, dan dari hasil penjulan tafsir inilah ia menghidupi keluarganya. Tidak heran apabila karya tafsir ini laku dipasaran dengan baik, pasalnya tafsir ini memberikan penafsiran yang memuaskan.[9]

Dalam hal lain  ada dua kategori yang meliputi latar belakang penulisan Tafsir Al-Furqan, yaitu:

1. Anggota persis memerlukan tafsir yang dapat digunakan sebagai pegangan.

2. Tawaran dari Sa‟ad Nabhan, seorang pemilik usaha penerbitan buku di Surabaya, untuk menerbitkan tafsirnya secara lengkap. Ahmad Hassan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. segera Ia merampungkan kitab tafsirnya. [10]

2. Sejarah Berkembangnya Tafsir Al-Furqan

Ahmad  Hassan selama hidupnya mempunyai beberapa karya tafsir seperti tafsir Al-Hidayah, tafsir Surat Yasin dan tafsir Al- Furqan. Seiring berjalannya waktu, karya tafsir yang masih eksis sampai sekarang ini adalah karya tafsirnya yang berjudul Tafsir Al-Furqan. penulisan tafsir Al-Furqan dimulai sejak tahun 1928 atau lebih tepatnya cetakan pertama dicetak pada bulan Muharram 1347 H/ Juli 1928 dengan menggunakan bahasa Melayu bertuliskan latin.

Tafsir Al-Furqan tergolong masuk ke dalam masa-masa awal sejarah penerjemahan dan juga penafsiran al-Quran di Indonesia. Karya Ahmad Hassan itu ditulis dalam beberapa waktu, tidak sekaligus langsung selesai dari bagian awal sampai akhirnya. Tercatat bahwa bagian pertama Tafsir Al-Furqan terbit pertama kali pada tahun 1928. Penerbitan bagian berikutnya terus berlanjut sampai tahun 1941, tapi baru sampai pada Surah Maryam. Oleh karena kesibukan penulis di dunia dakwah, pergerakan, dan pendidikan, tahap pengerjaan selanjutnya baru dimulai kembali tahun 1953. Penulisan pada tahapan ini cukup intensif sehingga rampunglah penerjemahan dan juga penafsiran al-Quran sehingga dapat terbit pada tahun 1956. Inilah edisi lengkap pertama Tafsir Al-Furqan. Karya ini kemudian menjadi media dan rujukan penting dalam perjuangan dan dakwah Islam Ahmad Hassan yang pada masanya sudah sangat dikenal tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di kalangan masyarakat muslim Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Singapura.

Tafsir Al-Furqan ini terdiri dari 1 jilid. Penulisan tafsir ini merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia dalam kurun waktu 1920-1950’an. Bagian pertama tafsir ini diterbitkan pada tahun 1928, sedangkan edisi kedua diterbitkan pada tahun 1941, namun hanya sampai surat Maryam, sedangkan penyelesaiain tafsir ini selesai hingga tiga puluh juz atas dukungan dan bantuan pengusaha Sa’ad Nabhan.

C.     Karakteristik Tafsir Al-Furqan

Dalam pendahuluannya, A.Hassan memberikan rambu-rambu tentang ayat-ayat samar dan memberikan pengetahuan yang berkenaan dengan cara-cara yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat Alquran. Seperti arti kalimat, arti rangkaian, keterengan, ringkasan, anggapan atau paham yang diikuti oleh A.Hassan. Arti kalimat maksudnya adalah kosakata dari suatu ayat menggunakan arti dari ayat itu (tekstaul) dan sering pula menggunakan makna kontekstualnya. Arti rangkaian maksudnya adalah terjemah terhadap ayat yang dimaksud. Maksud keterangan adalah penafsiran yang dilakukan oleh A. Hassan terhadap kalimat yang membutuhkan penjelasan. Jadi, sistematiaka penulisan dalam tafsir cetakan tahun 1928 ini ialah dimulai dengan kosakata ayat, kemudian menampilkan ayat sesuai dengan mushaf ustmani, terjemahan ayat (tekstual maupun kontekstual), keterangan atau penafsiran yang sesuai dengan nomer kecil di atas kalimat terjemahan.

 Pengambilan arti kalimat dari tiap-tiap ayat yang diterjemahkan menurut arti yang terpakai di ayat itu dan sering pula diiringi dengan makna asalnya, kecuali apabila ada keterangan lain yang menunjukkan adanya kalimat yang harus diberi makna isti’aroh (sindiran). Kemudian dari tiap-tiap kalimat ayat yang kurang jelas maksudnya, diberi penafsiran yang terang jelas dengan menggunakan angka kecil yang ada dipinggir kalimat yang kurang jelas tersebut. Setelah itu diberikan ringkasan supaya mudah dipahami oleh khayalak umum, maka di akhir-akhir ayat diberi ringkasan, dan ringkasan ini terkadang dirangkap dijadikan satu, kemudian ditaruh sesudah atau sebelum penjelasan ayat.

Dalam tafsir Al-Furqan tahun 1928, A. Hassan juga memberi tambahan keterangan yang diambil dari ayat-ayat Taurat (Perjanjian Lama), Injil (Perjanjian Baru), dan Injil Barnaba. Alasan A. Hassan mengutip ayat dari kitab-kitab tersebut adalah hanya sebagai penambah keterangan atau penambah kesaksian saja dari kitab-kitab tersebut dan yang ia ambil dari kitab-kitab tersebut yang sepaham dengan ayat Alquran saja. Penyajian redaksi penafsiran pada tafsir Al-Furqan (1928 M) memeberikan redaksi dan sistematika penulisan tafsir yang lebih luas bahasannya, lebih terperinci. [11]

Sebelum menampilkan redaksi ayat Alquran, A. Hassan terlebih dahulu menampilkan kosa kata per kata dalam suatu ayat. Setelah itu ia menampilkan ayat Alquran dan memberikan terjemah tafsiriyah terhadap ayat Alquran. Ketika menerjemahkan suatu ayat Alquran, A. Hassan memberikan nomer kecil di pojok kanan atas terhadap kata atau kaliamat Alquran yang dirasa kurang jelas maksudnya. Kata yang diberikan nomer pojok kanan tersebut kemudian ia tafsirkan dengan secara rinci, luas pembahasannya dan ada juga beberapa ayat Alquran yang dibumbui dengan isra’iliyat untuk menambah kesaksian yang diambil dari kitab suci sebelumnya. Di bagian akhir penafsiran ia memberikan ringkasan dari penjelasannya terhadap tafsir ayat Alquran. [12]

Tafsir Al-Furqan yang ditulis oleh A. Hassan mengalami dua kali perubahan penulisan, yaitu pada tahun 1928 dan 1956. Perubuhan tersebut berdampak pada metode penafsiran tafsir Al-Furqan. pada tanggal 26 April 1956 di Bangil, Pasuruan, setelah seorang pengusaha bernama Sa’ad Nabhan yang menawarkan kepada A. Hassan untuk menulis kembali tafsir Al-Furqan dari awal. Penulisan ulang dari awal disetujui oleh A. Hassan, mengingat keadaan ekonomi keluarga setelah pindah dari Bandung ke Pasuruan yang serba kekurangan, maka demi terwujudnya cita-cita suci untuk menerbitkan tafsir ini, ia mulai menulis ulang tafsir Al-Furqan kirakira pada tahun 1953 dan naik cetak pada tahun 1956. Dengan waktu yang relatif singkat ia mampu menyelesaikan tafsir lengkap 30 juz, dan penjualan tafsir cetakan tahun 1956 ini di terbitkan oleh banyak penerbit, contohnya CV. Diponegoro, Penerbit Ikhwan Surabaya, Tintamas Jakarta, dan UD. Pustaka Tamam Bangil.

Dalam pendahuluan cetakan tahun 1956, A. Hassan mengungkapkan adanya perbedaan dalam hal penulisan dan sistematika pembahasan tafsir yang ia susun kembali mulai dari awal. Cetakan tahun 1956 dari tafsir Al-Furqan ini menyajikan penafsiran ayat Alquran dengan metode yang lebih umum dan ringkas, dan yang terpenting dalam versi kedua ini A. Hassan ingin menerangkan arti tiap-tiap ayat, supaya pembaca bisa paham maknanya dengan mudah. Versi kedua ini sudah ditulis lengkap 30 juz Alquran, berbeda dengan versi pertama yang hanya sampai surat al-Maryam. Dalam versi kedua, Ahmad Hassan melakukan penulisan terhadap Tafsir Al-Furqan tersebut ayat-ayat al-Qur‟an
ditulisnya di sebelah kanan. Dan terjemahan ditulisnya disebelah kiri halaman.

Ahmad Hassan mempunyai cara penulisan yang berbeda dengan ulama tafsir lainnya. Misalnya dalam penulisan nomor pada ayat dalam surat al-Faatihah. surat al-Faatihah menurut Ahmad Hassan terdiri dari 7 ayat. Ia memulai nomor ayat pertama pada ayat alhamdu lillaahi rabbi al-‘alamiin. Sementara kalimat bismillaahi rahmaani al-raahim tidak diberi nomor ayat. Dan setiap menulis awal surah, beliau menjelaskan arti dari surah tersebut dengan menggunakan bahasa dan tulisan yang mudah dipahami.

Kemudian dalam menulis tafsirnya tersebut Ahmad Hassan meberikan nomor footnote atau catatan kaki terhadap kata-kata atau ayat-ayat yang memerlukan penafsiran, yang diletakkan dibagian bawah sebelah kiri, footnote dari awal sampai akhir terdapat sebanyak 4547. Footnote yang terdapat pada bagian bawah sebelah kiri lembaran kitab, merupakan sebagai tafsir dari kata-kata yang memerlukan penafsiran dalam kitab tafsirnya tersebut. Penggunaan footnote dilakukan oleh sang penulis untuk memberikan keterangan tambahan bagi ayat-ayat yang diterjemahkan secara harfiah di bagian inti halaman. Catatan kaki itulah yang berisi  penafsiran sang penulis terhadap ayat al-Qur’an dan ditulis dengan bahasa pribadi dan berbeda dengan bahasa terjemahan. Beliau juga menggunakan akal (ra’yu) dan ilmu pengetahuan yang sedang hangat terjadi pada masa itu, seperti tentang kejadian bumi, alam semesta dan lain sebagainya. Pada bagian itulah tampak pjmk,emikiran dan pendapat Ahmad Hassan dalam menjelaskan pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an kepada pembaca.[13]

Bila dibandingkan dengan karya sejenis pada masa awal penerbitannya, Tafsir Al-Furqan memiliki kekhasan tersendiri. Dalam bagian Pendahuluan, misalnya, sang penulis menguraikan berbagai hal yang dibagi ke dalam 35 pasal, mulai dari riwayat singkat proses penulisan karyanya, keterangan ringkas tentang metodologi penerjemahan (dan juga penafsiran), sejarah, isi al-Qur‟an, gramatika Arab, makna konsep-konsep tertentu dalam Alquran, hingga glosarium yang berisi beberapa kata atau konsep penting dalam al-Qur’an.

 

Dalam terbitan edisi tahun 1960-an, Ustadz Abdul Qadir, sang putra tertua Ahmad Hassan, menambahkan bagian “Petunjuk Pencarian Kata dalam Qur’an”, semacam indeks sederhana yang berisi panduan pencarian beberapa kata dan posisinya dalam surah-surah al-Qur’an. Bagian Pendahuluan diakhiri dengan pencantuman daftar isi surah dalam al-Qu’an dalam tulisan Arab maupun latin, dan tak ketinggalan daftar isi juz dalam al-Qur’an.

Ahmad Hassan merancang tata letak halaman dengan cukup baik. Setiap surah dimulai dengan penulisan nama surah dalam bahasa Arab dan artinya dalam bahasa Indonesia. Ada pula keterangan nomor urut surah dalam al-Qur’an, jumlah ayat, dan tempat turun surah tersebut. Dalam hal penulisan ayat al-Qur’an dan terjemahannya, sang penulis menempatkan ayat dalam tulisan Arab di bagian kanan halaman berbentuk kolom dan terjemahan setiap ayat diletakkan di sebelah kiri sejajar dengan tulisan Arab ayat al-Qur’an.[14]

Adapun jika kita lihat sebenarnya metode penerjemahan harfiah ini adalah merupakan bagian dari pada metode ijmali(global), yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas dan padat tetapi mencakup global. Penulisan tafsir ini merupakan langkah awal dalam sejarah penerjemahan Al-Qur’an kedalam bahasa Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Tafsir Al-furqan adalah karya yang ditulis oleh seorang tokoh ulama Persis yaitu Ahmad Hassan,  yang ditulis sejak tahun 1928-1956. Tafsir yang berbahasa Indonesia ini merupakan tafsir pertama kali yang ditulis pada abad ke 20 zaman kemerdekaan.

Latar belakang penulisan tafsir Al-Furqan adalah selain karena permintaan masyarakat pada waktu itu, juga karena faktor ekonomi yang mana hasil penjualan tafsir ini dapat menghidupi keluaga Ahmad Hassan.

Tafsir ini sangat diterima di masyarakat karena cara penafsirannya yang singkat, jelas dan padat sehingga mudah dipahami oleh masyarakat. Metode penerjemahan harfiah ini adalah merupakan bagian dari pada metode ijmali(global), yaitu sebuah metode penafsiran yang mencoba menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas dan padat tetapi mencakup global.

 

 

 

 https://shope.ee/2fYOg4HuVe

 

 

 

 

 

 

 

 

 https://shope.ee/8epboh5Iye


 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Aisyah, Siti, Pemikiran Ahmad Hassan Bandung Tentang Teologi Islam, (Medan: Al-Lubb, 2017)

Djaja, Tamar, Riwayat Hidup A. Hassan, (Jakarta: Mutiara)

Hizbullah, Nur, Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di Nusantara Dan Semenanjung Melayu, (Jakarta: Al Turas, 2014)

Huda, Alamul, pemikiran Islam Puritan dalam Tafsir Al-Furqan Karya Ahmad Hassan, (Surakarta: 2017)

O. Santoso, Kholid, Manusia Di Panggung Sejarah; Pemikiran dan Gerakan Tokoh-Tokoh Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2009)

 



[1] Nur Hizbullah, Ahmad Hassan: Kontribusi Ulama Dan Pejuang Pemikiran Islam Di Nusantara Dan Semenanjung Melayu, (Jakarta: Al Turas, 2014) Hal. 43

[2] Ibid, Hal.44

[3] Siti Aisyah, Pemikiran Ahmad Hassan Bandung Tentang Teologi Islam, (Medan: Al-Lubb, 2017), hal.50

[4] Ibid, Hal. 51

[5] Nur Hizbullah, Hal.45

[6] Siti aisyah, Hal. 52-53

[7] Ibid, Hal. 53

[8] Kholid O. Santoso, Manusia Di Panggung Sejarah; Pemikiran dan Gerakan Tokoh-

Tokoh Islam, (Bandung: Sega Arsy, 2009), Hal.100

[9] Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, (Jakarta: Mutiara), Hal. 23

[10]  Alamul Huda, pemikiran Islam Puritan dalam Tafsir Al-Furqan Karya Ahmad Hassan, (Surakarta: 2017). Hal.45

 

[11] A. Hassan, Tafsir Al-Furqoen, (Bandung: Persatuan Islam, 1928), II.

[12] 43 Ibid,...II.

[13]Aklamul Huda,hal. 45

[14] ibid, Hal 47


Pengertian Hadits Tarbawi