Mengupas Kitab Tafsir Lathaif
Al-Isyarat Karya Imam
Al-Qusyairi
(Studi terhadap Kitab Tafsir Sufi)
Oleh: Nurbaiti
PENDAHULUAN
Para Mufassir dalam
menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an mempunyai corak atau kecenderungan yang
berbeda-beda dengan mufasir lainnya. Sehingga melahirkan kecenderungan
penafsiran yang berbeda pula[1].
Para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur’an mempunyai disiplin
ilmu tertentu yang sesuai dengan kecenderungan ilmu yang mereka miliki.
Kemudian juga dapat kita lihat dari riwayat hidupnya, rihlah ilmiahnya, setting
sosial kehidupannya, guru-gurunya, karya-karyanya dan lain sebagainya.
Para mufassir dalam menafsiran suatu ayat
dalam al-Qur’an mempunyai metode dan corak penafsiran tertentu. Salah satunya
corak sufi, karena seiring dengan perkembangan aliran sufi, para mufassir dari
kalangan sufi menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan paham sufi yang dianutnya.
Pada umumnya mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an bukan sekedar dari yang
tersurat saja. Akan tetapi, juga mereka memahami secara makna bathin atau tersirat.
Seperti Imam al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya
Lathaif al-Isyarat mempunyai metode dan corak tertentu. Imam al-Qusyairi
merupakan seorang sufi dan menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga dalam pembahasan ini
akan membahas tentang biografi mufassir yaitu Imam al-Qusyairi yaitu mencakup
tentang rihlah ilmiahnya, guru-guru serta karya-karyanya. Selanjutnya membahas
tentang kitab tafsir Lathaif al-Isyarat mencakup metode, corak,
sistematika penafsiran serta kelebihan dan kekurangannya.
PEMBAHASAN
A.Biografi
Pengarang
Nama lengkap Beliau adalah Abu al-Qasim Abd
al-Karim Al-Qusyairi. Beliau lahir pada tahun 986 M/376 H di Istiwa, dekat
dengan salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu agama di Nisyapur, Iran. Beliau
mempelajari dan mendalami berbagai ilmu seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, Sastra
Arab, Ushul Fiqh dan lain sebagainya. Beliau belajar dan bergaul dengan banyak
ulma diantaranya Abu bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi, Abu Bakar bin
Faurak, Abu Ishak al-Isfarayaini. Beliau mazhab fiqihnya menganut mazhab
Syafi’i sedangkan dalam ilmu kalam, Beliau menganut aliran Asy’ariyah atau Ahl
al-Sunnah wal Jama’ah[2].
Setelah mempelajari berbagai disiplin ilmu
tersebut. Beliau melanjutkan studinya pada seorang sufi yang terkenal di daerah
Nisyapur yang bernama Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaaq (w.1023H/412M). Syeikh tersebut
mempunyai pengaruh yang besar dalam kepribadian al-Qusyairi, Sehingga Beliau
mendalami ilmu tasawufnya dan menjadi seorang sufi yang terkemuka dari abad
ke-11M atau 5H.
Imam al-Qusyairi banyak menghasilkan
karya-karya selain di bidang tasawuf, terdapat juga di bidang ilmu lainnya.
Diantara karya-karyanya adalah[3]:
a.Lathaif al-Isyarat
b. Balaghah al-Maqashid fi
al-Tasawuf
c. Istifadhah al-Muradat
d. At-Tahbir fi Tadzkir
e. Hayat al-Arwah dan al-Dalil
ila Thariq al-Shalah
f. Al-Risalah al-Qusyairiyah fi
‘Ilmi al-Tasawuf
g. Al-Fushul fi al-Ushul
h. Uyun al-Ajwibah fi Ushul
al-Asilah
i. Al-Luma’ fi al-I’tiqad
Beliau juga mempunyi banyak murid
diantaranya Abu Bakar Ahmad bin Ali bi Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, Abu
Muhammad Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy
an-Naisabury Abu Ibrahim Ismail bin Husain al-Husainy dan lain-lainnya. Beliau
wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Akhir 465 H./l073 M[4].
Ketika itu usianya 87 tahun. Dan dimakamkan disamping makam gurunya yaitu
Syeikh ad-Daqaq.
1.Setting
Sosial
Kehidupan masa kecil
Imam al-Qusyairi dalam keadaan yatim. Ayahnya telah wafat ketika Beliau masih
kecil. Kemudian Beliau diserahkan kepada Abul Qasim al-Yamani dan Beliau belajar
dengannya Bahasa Arab. Ketika menginjak remaja, Beliau melihat keadaan
masyarakat yang sangat susah dengan pemberatan terhadap pajak oleh
pemerintahannya yaitu pada masa pemerintahan yang tidak berpihak pada
kepentingan rakyat. Seperti para penguasa memberatkan para rakyat dengan
pungutan pajak. Sehingga Imam al-Qusyairi berkeinginan untuk meringankan beban
masyakat.
Beliau pergi ke
Naisabur untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pajak. Naisabur pada
saat itu ibukota Khurasan. Sesampainya di Naisabur beliau belajar berbagai ilmu
pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali al-Hasan
ibn Ali al-Naisabur dan lebih dikenal dengan al-Daqaq. Ketika memdengar fatwa
Syeik ad-Daqaq, Imam al-Qusyairi kagum kepada Syeik ad-Daqaq. Sehingga Imam
al-Qusyairi belajar dengan Syeik ad-Daqaaq[5].
Oleh karena itu, Syaikh al-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan
berbagai bidang ilmu. Oleh karena itu hal tersebut membuat Beliau untuk
mencabut cita-cita semulanya yang ingin menguasai peran pemerintah dan memilih
thariqah sebagai jalan perjuangannya.
Beliau banyak
belajar dengan Syeikh ad-Daqaaq sehingga beliau menikah dengan Fatimah, putri gurunya. Beliau
hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M - 412 H/1021 M dan meninggalkan
enam orang putra dan seorang putri. Al-Qusyairi juga berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka
yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad
Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy[6]. Disamping
itu, Al-Qusyairi dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki
keterampilan permainan pedang dan senjata yang sangat baik.
Imam al-Qusyairi menganut aliran Ahlussunnah
wal Jama’ah yang dikembangkan oleh Imam al-‘Asyari. Beliau merupakan pembela paling
tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin-doktrin muktazilah, syiah, dan
lain sebagainya. Karena tindakannya, beliau mendapat serangan keras dan
dipenjara selama satu bulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan
seorang menterinya yang menganut muktazilah, sekitar tahun 445 H[7].
2.Pengaruhnya
dalam Penafsiran
Imam al-Qusyairi merupakan seorang tokoh sufi
yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan
yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan Hadits yang
merupakan ciri ajaran tasawuf sunni. Beliau juga menulis sebuah risalah tentang
tasawuf yang diberi nama Al-Risalah al-Qusyairiyah. Sebenarnya kitab ini
Beliau tulis untuk golongan orang-orang sufi yang beberapa negara Islam sekitar
tahun 473 H. Kemudian tersebar ke seluruh tempat karena isinya ditujukan untuk
mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada waktu itu telah
banyak terjadi penyimpangan dari sumber Islam[8].
Dengan latar
belakang ilmu tasawauf yang beliau pelajari dari Syeikh ad-Daqaq mempengaruh
serta mewarnai penafsiran beliau. Dengan kematangan ilmu yang dimilikinya dan
juga ilmu taswauf yang dianut dan diajarkan sejalan dengan ajaran syariat. Oleh
karena itu dalam aplikasi penafsirannya, Beliau menafsirkan suatu ayat
menggunakan makna lahir dan juga makna bathin suatu ayat. Dan hal ini
dipengaruhi karena beliau seorang sufi.
Dalam sejarah penafsiran al-Quran
yaitu tafsir yang bercorak tasawuf. Kitab Lathaif al-Isyarat karya Imam
al-Qusuyairi merupakan kitab tafsir sufi yang pertama yang lahir dikalangan
umat islam yang berusaha untuk menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Quran yang
lengkap 30 juz. Dari surat An-Nas hingga surat An-Nas. Sebelum tafsir Lathaif
al-Isyarat juga terdapat kitab tafsir seperti Tafsir al-Qur’an al-Adhim
karya Sahl al-Tustari (w.283 H), Haqaiq
al-Tafsir karya Abu Abd ar-Rahman al-Sulami (w.412 H)[9].
B.Metode dan
Corak Penafsiran
1.Metode
Penafsiran
Dalam menafsirkan
ayat Al-Qur’an, seorang mufasir mempunyai metode-metode tertentu. Metode-metode
tersebut adalah pertama, metode Tahlili yaitu mejelskan panjang lebar
dan menfasirkan ayat Al-Qur’an secara mendetail. Kedua, metode Ijmali
yaitu menafsirkan Al-Qur’an secara ringkas, tidak secara mendetail. Ketiga,
metode Maudhui yaitu menafsirkan suatu ayat dengan menggunakan tema-tema
tertentu. Keempat, metode Muqaran yaitu menafsirkan Alquran dengan cara
membandingkan.
Sebelum
menafsirkan surat Al-Fatihah, Beliau menyampaikan mukadimah tentang kitab
tafsir Beliau yang bernama Lathaif al-Isyarat. Secara garis besar, kitab
tersebut berdasarkan pemahaman isyarat-isyarat Al-Qur’an yang dipahami oleh ahli
ma’rifat[10].
Isyarat maksudnya yaitu pemahaman hikmah yang disampaikan secara sufi. Dan
kitab tafsir ini berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi dalam memahami
ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman yang didapatkan setelah melakukan mujahadah
dengan berpegang teguh pada karunia Allah.
Metode penafsiran
yang Imam al-Qusyairi adalah metode
tahlili, Metode tahlili yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara mendetail,
secara panjang lebar dan juga menggunakan analisis yang meliputi beberapa hal
seperti isi kandungan ayat, dan menjelaskan makna isyarat suatu ayat, juga
dalam beberapa ayat menggunakan syair dan lain sebagainya. Akan tetapi ada
beberapa dalam penafsian ayat, beliau menjelaskan sangat ringkas, kemudian
dijelaskan ayat yang selanjutnya. Contoh seperti dalam surat An-nisa ayat 1
yaitu :
Akan tetapi Imam
al-Qusyairi dalam beberapa ayat juga menafsirkan ayat secara singkat dan tidak
menjelaskan secara mendetail, kemudian langsung dilanjutkan dengan sesudahnya.
Contoh:
Dalam penelitian
Drs.H.Abdul Munir, M.Ag. menyatakan bahwa metode penafsiran yang digunakan Imam
al-Qusyairi dalam kitab Lataif al-Isyarat metode tahlili yang berbentuk
bir-ra’yi yang bercorak sufi. Imam al-Qusyairi memperhatikan pertautan antara
makna isyarat dan makna lahir ayat dan juga menggunakan riwatyat-riwayat untuk
mendukung penafsiran. Menurut penelitian Drs.H.Abdul Munir menyatakan bahwa imam
al-Qusyairi tidak konsisten dalam mengaplikasikan metode penafsirannya, karena
ada beberapa ayat yang beliau tafsirkan tidak ada kaitan antara makna lahir dan
makna batin suatu ayat[11].
2.Corak dan Pendekatan Penafsiran
Corak yang
digunakan Imam al-Qusairy adalah bir ra’yi karena dalam menafsirkan beliau
menggunakan analisis bahasa yaitu menggunakan penalaran Beliau yang berdasarkan
kecenderungannya yaitu tasawuf. Dalam penafsiran beliau sangat jarang ditemukan penafsiran ayat dengan ayat
yang lain, hadits, perkataan sahabat, tabi’in ( tafsir bil matsur).
Tafsir Imam
al-Qusyairi merupakan Tafsir sufi yaitu penafsiran Al-Quran yang berlainan
dengan zhahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk tersurat. Tafsir sufi dilakukan
oleh seorang sufi yang berbudi lahir dan terlatih jiwanya (mujahadah) dan
diberikan cahaya oleh Allah sehingga dapat menyingkap rahasia-rahasia Al-Qur’an[12]. Seperti Iman al-Qusyairi menafsirkan Surat An-Nahl:
15 terdapat makna dhahir dan makna bathin.
Tafsir sufi
terbagi menjadi 2 yaitu tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari.
Menurut Muhammad Husein adz-Dzahbi perbedaan tafsir sufi nadhari dan tafsir
sufi isyari adalah sebagai berikut:
a.Tafsir sufi nadhari didasarkan atas pengetahuan ilmu sebelumnya
yang ada dalam seorang sufi tersebut, kemudian menafsirkan al-Qur’an yang
dijadikan sebagai landasan tasawuf. Sedangkan Tafsir sufi isyari bukan
didasarkan pada adanya pengetahuan sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan
hati seorang sufi yanga mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya
isyrat-isyarat al-Qur’an.
b.Tafsir sufi nadhari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat
al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna ayat lain yang ada
dibalik ayat. Tafsir sufi isyari bahwa Al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada
dibalik makna lahir. Dengan demikian bahwa al-Quran terdiri dari makna dhahir
dan makna bathin.
Dari penjelasan tersebut
dapat kita lihat bahwa kitab tafsir Lataif al-Isyarat merupakan kitab
tafsir sufi Isyari. Contohnya surat an-Nahl:15, An-Naml:61, al-Kahfi:47 dan
lain sebagainya.
C.Kelebihan dan
Kekurangan
1.Kelebihan
a.Memuat berbagai ide dan ruang lingkup yang luas, Mufasir
mencurahkan ide-ide yang berkaitan dengan tasawuf dan gagasannya dalam
menafsirkan al-Quran. Sehingga dapat mengungkapkan makna dhahir dan batin suatu
ayat.
b.Tafsir sufi isyari merupakan tafsir yang dilakukan oleh yang
makrifah kepada Allah dan tentu telah memahami makna tekstual/makna lahir suatu
ayat, sebelum menuju kepada makna isyarat suatu ayat harus menguasai makna
lahir ayat dan memahami makna isyaratnya.
c.Tafsir Sufi ini akan menambah wawasan dan pengetahuan terhadap
isi kandungan al-Qur’an yaitu berdasarkan ilmu-ilmu sufi.
2.Kekurangan
a.Tafsir sufi terkadang jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang
qath’i, menggunakan hawa nafsu dan rasio yang bertentangan dengan makna lahir
suatu ayat yang telah dijelaskan dalam al-Quran.
b. Kitab tafsir ini berbeda dengan kitab tafsir tahlili lainnya. Kitab tafsir ini tidak menjelaskan
asbabunnuzul, nahwu, qiraah dalam suatu
ayat. Penjelaannya sangat pendek, kemudian dilanjutkan dengan ayat
setelahnya.
D.Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan kitab tafsir Latif al-Isyarat karya Imam al-Qursyairi
menggunakan tartib mashafi yaitu sistematika penulisan al-Quran yang
berdasarkan susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an dan yang lengkap 30 juz dari
surat al-Fatihah hingga surat An-Nas. Dalam menafsirkan surat Al-Fatihah beliau
memulai dengan menyebutkan Surah Fatihah al-Kitab[13].
Kemudian menjelaskan tentang surat al-Fatihah dan memulainya dengan ayat
pertama hingga terakhir. Dan dalam menafsirkan surat lain beliau menyebutkan
surah allatii yuzkaru fiihaa An-Nisa, begitu juga dengan ayat
selanjutnya. Dan dalam menafsirkan suatu ayat beliau menyebutkan qauluhu
jaalla dzikrahu. Demikian sistematika penafsiran Imam al-Qusyairi hingga
surat An-Nas.
PENUTUP
Imam al-Qusyairi
merupakan seorang yang ahli sufi dan juga menafsirkan suatu ayat dalam
al-Qur’an. Beliau banyak belajar denagn ulama-ulama yang terdapat di Naisabur.
Gurunya yang terkenal adalah Syeikh ad-Daqaaq. Dari beliaulah Imam al-Qusyairi
memperoleh ilmu tasawuf dan menafsirkan suatu al-Qur’an. Penafsiran al-Qur’an
dikalangan kaum sufi mempunyai metodologi yang berbeda dengan penafsiran ulama
lainnya. Para sufi menggunakan makna dhahir suatu ayat dan juga makna zhahir suatu ayat dalam
menafsirkan suatu ayat.
Metode yang
digunakan Imam al-Qusyairi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tahlili
walaupun dalam beberapa ayat beliau menafsirkannya ecara singkat dan ringkat.
Bentuk dan corak yang beliau gunakan bir-ra’yi dengan corak sufi karena beliau
mengungkapkan dhahir suatu ayat dan makna bathin suatu ayat. Sedangkan
sistematika yang beliau gunakan adalah tartib
mashafi, karena menafsirkan ayat Al-Qur’an secara urutan ayat dalam mushaf
dari surat Al-Fatihah hingga surat An-nas.
Kitab tafsir ini
telah memberikan warna lain yang berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Walaupun
demikian, kitab tafsir ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam
penafsirannya.Penafsiran sufi terkadang jauh dari maksud dan kandungan makna
literal ayat-ayat Al-Qur’an. Dibutuhkna sikap kehatian-hatian dan kritis dalam
melihat suatu kitab tafsir. Sikap kehati-hatian ini akan menumbuhkan sikap
terbuka dan toleransi terhadap berbagai corak penafsiran serta menempatkan berbagai
corak tersebut secara proposional.
Daftar Pustaka
An-Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah
al-Qusyairiyah. Jakarta:Pustaka Amani.2002
Ahmad Bangun Nasution. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman dan
Pengaplikasiannya dan diserti dengan Biografi Tokoh-Tokoh Sufi .
Jakarta:Rajawali Press.2013
Abdul Majid Abdus Salam.Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporeer.
Jakarta: Al-Izzah.1997
Az-Zahabi, Muhammad Husein. Tafsir wal Mufassirun. Mesir:Dar
al-Kutub al-Hadisah.1961
As-Siddiqiey, Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta:Bulan Bintang.1980
Asmaran
As, Pengantar Studi Tasawuf
Jakarta:RajaGrafido Persada. 1994
Baidhawi,
Ahmad.Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah.Yogyakarta:TH-Press.2010
Manna’ al-Qattan. Mabahis fi Ulumu al-Qur’an. Mansyurat
al-Ash al-Hadits.1973
Mani’
Abdul Halim Mahmud. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif metode para ahli
tafsir Jakarta:RajaGrafido Persada.2006
Qusyairi. Abu al-Qasim. Lathaif Isyarat. Mesir:al-Hai’ah
al-Misruyah al-Ammah li al-Kitab.1981
Qusyairi. Risalah al-Qusyairiyah.Beirut:Dar al-Khair.
Al-Ammah li al-Kitab.1981.
Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.
Jakarta:RajaGrafido Persada.2002