Tuesday, March 8, 2016



Mengupas Kitab Tafsir Lathaif  Al-Isyarat  Karya Imam Al-Qusyairi
(Studi terhadap Kitab Tafsir Sufi)
Oleh: Nurbaiti

PENDAHULUAN
         Para Mufassir dalam menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an mempunyai corak atau kecenderungan yang berbeda-beda dengan mufasir lainnya. Sehingga melahirkan kecenderungan penafsiran yang berbeda pula[1]. Para mufassir dalam menafsirkan suatu ayat dalam Al-Qur’an mempunyai disiplin ilmu tertentu yang sesuai dengan kecenderungan ilmu yang mereka miliki. Kemudian juga dapat kita lihat dari riwayat hidupnya, rihlah ilmiahnya, setting sosial kehidupannya, guru-gurunya, karya-karyanya dan lain sebagainya.
          Para mufassir dalam menafsiran suatu ayat dalam al-Qur’an mempunyai metode dan corak penafsiran tertentu. Salah satunya corak sufi, karena seiring dengan perkembangan aliran sufi, para mufassir dari kalangan sufi menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan paham sufi yang dianutnya. Pada umumnya mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an bukan sekedar dari yang tersurat saja. Akan tetapi,  juga mereka memahami secara makna bathin atau tersirat.
         Seperti Imam al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya Lathaif al-Isyarat mempunyai metode dan corak tertentu. Imam al-Qusyairi merupakan seorang sufi dan menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga dalam pembahasan ini akan membahas tentang biografi mufassir yaitu Imam al-Qusyairi yaitu mencakup tentang rihlah ilmiahnya, guru-guru serta karya-karyanya. Selanjutnya membahas tentang kitab tafsir Lathaif al-Isyarat mencakup metode, corak, sistematika penafsiran serta kelebihan dan kekurangannya.







PEMBAHASAN
A.Biografi Pengarang
          Nama lengkap Beliau adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim Al-Qusyairi. Beliau lahir pada tahun 986 M/376 H di Istiwa, dekat dengan salah satu pusat pengajaran ilmu-ilmu agama di Nisyapur, Iran. Beliau mempelajari dan mendalami berbagai ilmu seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, Sastra Arab, Ushul Fiqh dan lain sebagainya. Beliau belajar dan bergaul dengan banyak ulma diantaranya Abu bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi, Abu Bakar bin Faurak, Abu Ishak al-Isfarayaini. Beliau mazhab fiqihnya menganut mazhab Syafi’i sedangkan dalam ilmu kalam, Beliau menganut aliran Asy’ariyah atau Ahl al-Sunnah wal Jama’ah[2].
         Setelah mempelajari berbagai disiplin ilmu tersebut. Beliau melanjutkan studinya pada seorang sufi yang terkenal di daerah Nisyapur yang bernama Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaaq (w.1023H/412M). Syeikh tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam kepribadian al-Qusyairi, Sehingga Beliau mendalami ilmu tasawufnya dan menjadi seorang sufi yang terkemuka dari abad ke-11M atau 5H.
        Imam al-Qusyairi banyak menghasilkan karya-karya selain di bidang tasawuf, terdapat juga di bidang ilmu lainnya. Diantara karya-karyanya adalah[3]:
a.Lathaif al-Isyarat
b. Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf
c. Istifadhah al-Muradat
d. At-Tahbir fi Tadzkir
e. Hayat al-Arwah dan al-Dalil ila Thariq al-Shalah
f. Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-Tasawuf
g. Al-Fushul fi al-Ushul
h. Uyun al-Ajwibah fi Ushul al-Asilah
i. Al-Luma’ fi al-I’tiqad
           Beliau juga mempunyi banyak murid diantaranya Abu Bakar Ahmad bin Ali bi Tsabit al-Khatib al-Baghdadi, Abu Muhammad  Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury Abu Ibrahim Ismail bin Husain al-Husainy dan lain-lainnya. Beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Akhir 465 H./l073 M[4]. Ketika itu usianya 87 tahun. Dan dimakamkan disamping makam gurunya yaitu Syeikh ad-Daqaq.
1.Setting Sosial
         Kehidupan masa kecil Imam al-Qusyairi dalam keadaan yatim. Ayahnya telah wafat ketika Beliau masih kecil. Kemudian Beliau diserahkan kepada Abul Qasim al-Yamani dan Beliau belajar dengannya Bahasa Arab. Ketika menginjak remaja, Beliau melihat keadaan masyarakat yang sangat susah dengan pemberatan terhadap pajak oleh pemerintahannya yaitu pada masa pemerintahan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Seperti para penguasa memberatkan para rakyat dengan pungutan pajak. Sehingga Imam al-Qusyairi berkeinginan untuk meringankan beban masyakat.
         Beliau pergi ke Naisabur untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pajak. Naisabur pada saat itu ibukota Khurasan. Sesampainya di Naisabur beliau belajar berbagai ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai Imam yaitu Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisabur dan lebih dikenal dengan al-Daqaq. Ketika memdengar fatwa Syeik ad-Daqaq, Imam al-Qusyairi kagum kepada Syeik ad-Daqaq. Sehingga Imam al-Qusyairi belajar dengan Syeik ad-Daqaaq[5]. Oleh karena itu, Syaikh al-Daqaq bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Oleh karena itu hal tersebut membuat Beliau untuk mencabut cita-cita semulanya yang ingin menguasai peran pemerintah dan memilih thariqah sebagai jalan perjuangannya.
         Beliau banyak belajar dengan Syeikh ad-Daqaaq sehingga beliau  menikah dengan Fatimah, putri gurunya. Beliau hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M - 412 H/1021 M dan meninggalkan enam orang putra dan seorang putri. Al-Qusyairi juga  berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy[6]. Disamping itu, Al-Qusyairi dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang dan senjata yang sangat baik.
           Imam al-Qusyairi menganut aliran Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan oleh Imam al-‘Asyari. Beliau merupakan pembela paling tangguh aliran tersebut dalam menentang doktrin-doktrin muktazilah, syiah, dan lain sebagainya. Karena tindakannya, beliau mendapat serangan keras dan dipenjara selama satu bulan lebih atas perintah Tughrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang menganut muktazilah, sekitar tahun 445 H[7].
2.Pengaruhnya dalam Penafsiran                 
             Imam al-Qusyairi merupakan seorang tokoh sufi yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah, yang cenderung mengadakan pembaharuan yakni dengan mengembalikan tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan ciri ajaran tasawuf sunni. Beliau juga menulis sebuah risalah tentang tasawuf yang diberi nama Al-Risalah al-Qusyairiyah. Sebenarnya kitab ini Beliau tulis untuk golongan orang-orang sufi yang beberapa negara Islam sekitar tahun 473 H. Kemudian tersebar ke seluruh tempat karena isinya ditujukan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada waktu itu telah banyak terjadi penyimpangan dari sumber Islam[8].
            Dengan latar belakang ilmu tasawauf yang beliau pelajari dari Syeikh ad-Daqaq mempengaruh serta mewarnai penafsiran beliau. Dengan kematangan ilmu yang dimilikinya dan juga ilmu taswauf yang dianut dan diajarkan sejalan dengan ajaran syariat. Oleh karena itu dalam aplikasi penafsirannya, Beliau menafsirkan suatu ayat menggunakan makna lahir dan juga makna bathin suatu ayat. Dan hal ini dipengaruhi karena beliau seorang sufi.
           Dalam sejarah penafsiran al-Quran yaitu tafsir yang bercorak tasawuf. Kitab Lathaif al-Isyarat karya Imam al-Qusuyairi merupakan kitab tafsir sufi yang pertama yang lahir dikalangan umat islam yang berusaha untuk menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Quran yang lengkap 30 juz. Dari surat An-Nas hingga surat An-Nas. Sebelum tafsir Lathaif al-Isyarat juga terdapat kitab tafsir seperti Tafsir al-Qur’an al-Adhim karya Sahl al-Tustari (w.283 H),  Haqaiq al-Tafsir karya Abu Abd ar-Rahman al-Sulami (w.412 H)[9].



B.Metode dan Corak Penafsiran
1.Metode Penafsiran
           Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, seorang mufasir mempunyai metode-metode tertentu. Metode-metode tersebut adalah pertama, metode Tahlili yaitu mejelskan panjang lebar dan menfasirkan ayat Al-Qur’an secara mendetail. Kedua, metode Ijmali yaitu menafsirkan Al-Qur’an secara ringkas, tidak secara mendetail. Ketiga, metode Maudhui yaitu menafsirkan suatu ayat dengan menggunakan tema-tema tertentu. Keempat, metode Muqaran yaitu menafsirkan Alquran dengan cara membandingkan.
           Sebelum menafsirkan surat Al-Fatihah, Beliau menyampaikan mukadimah tentang kitab tafsir Beliau yang bernama Lathaif al-Isyarat. Secara garis besar, kitab tersebut berdasarkan pemahaman isyarat-isyarat Al-Qur’an yang dipahami oleh ahli ma’rifat[10]. Isyarat maksudnya yaitu pemahaman hikmah yang disampaikan secara sufi. Dan kitab tafsir ini berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Pemahaman yang didapatkan setelah melakukan mujahadah dengan berpegang teguh pada karunia Allah.
            Metode penafsiran yang  Imam al-Qusyairi adalah metode tahlili, Metode tahlili yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara mendetail, secara panjang lebar dan juga menggunakan analisis yang meliputi beberapa hal seperti isi kandungan ayat, dan menjelaskan makna isyarat suatu ayat, juga dalam beberapa ayat menggunakan syair dan lain sebagainya. Akan tetapi ada beberapa dalam penafsian ayat, beliau menjelaskan sangat ringkas, kemudian dijelaskan ayat yang selanjutnya. Contoh seperti dalam surat An-nisa ayat 1 yaitu :
            Akan tetapi Imam al-Qusyairi dalam beberapa ayat juga menafsirkan ayat secara singkat dan tidak menjelaskan secara mendetail, kemudian langsung dilanjutkan dengan sesudahnya. Contoh: 
         
     Dalam penelitian Drs.H.Abdul Munir, M.Ag. menyatakan bahwa metode penafsiran yang digunakan Imam al-Qusyairi dalam kitab Lataif al-Isyarat metode tahlili yang berbentuk bir-ra’yi yang bercorak sufi. Imam al-Qusyairi memperhatikan pertautan antara makna isyarat dan makna lahir ayat dan juga menggunakan riwatyat-riwayat untuk mendukung penafsiran. Menurut penelitian Drs.H.Abdul Munir menyatakan bahwa imam al-Qusyairi tidak konsisten dalam mengaplikasikan metode penafsirannya, karena ada beberapa ayat yang beliau tafsirkan tidak ada kaitan antara makna lahir dan makna batin suatu ayat[11].
2.Corak dan Pendekatan Penafsiran
           Corak yang digunakan Imam al-Qusairy adalah bir ra’yi karena dalam menafsirkan beliau menggunakan analisis bahasa yaitu menggunakan penalaran Beliau yang berdasarkan kecenderungannya yaitu tasawuf. Dalam penafsiran beliau sangat  jarang ditemukan penafsiran ayat dengan ayat yang lain, hadits, perkataan sahabat, tabi’in ( tafsir bil matsur).
 
        Tafsir Imam al-Qusyairi merupakan Tafsir sufi yaitu penafsiran Al-Quran yang berlainan dengan zhahirnya ayat karena adanya petunjuk-petunjuk tersurat. Tafsir sufi dilakukan oleh seorang sufi yang berbudi lahir dan terlatih jiwanya (mujahadah) dan diberikan cahaya oleh Allah sehingga dapat menyingkap rahasia-rahasia Al-Qur’an[12].  Seperti Iman al-Qusyairi menafsirkan Surat An-Nahl: 15 terdapat makna dhahir dan makna bathin.
 
             Tafsir sufi terbagi menjadi 2 yaitu tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari. Menurut Muhammad Husein adz-Dzahbi perbedaan tafsir sufi nadhari dan tafsir sufi isyari adalah sebagai berikut:
a.Tafsir sufi nadhari didasarkan atas pengetahuan ilmu sebelumnya yang ada dalam seorang sufi tersebut, kemudian menafsirkan al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan tasawuf. Sedangkan Tafsir sufi isyari bukan didasarkan pada adanya pengetahuan sebelumnya, tetapi didasari oleh ketulusan hati seorang sufi yanga mencapai derajat tertentu sehingga tersingkapnya isyrat-isyarat al-Qur’an.
b.Tafsir sufi nadhari seorang sufi berpendapat bahwa semua ayat al-Qur’an mempunyai makna-makna tertentu dan bukan makna ayat lain yang ada dibalik ayat. Tafsir sufi isyari bahwa Al-Qur’an mempunyai makna lain yang ada dibalik makna lahir. Dengan demikian bahwa al-Quran terdiri dari makna dhahir dan makna bathin.
        Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa kitab tafsir Lataif al-Isyarat merupakan kitab tafsir sufi Isyari. Contohnya surat an-Nahl:15, An-Naml:61, al-Kahfi:47 dan lain sebagainya.

C.Kelebihan dan Kekurangan
1.Kelebihan
a.Memuat berbagai ide dan ruang lingkup yang luas, Mufasir mencurahkan ide-ide yang berkaitan dengan tasawuf dan gagasannya dalam menafsirkan al-Quran. Sehingga dapat mengungkapkan makna dhahir dan batin suatu ayat.
b.Tafsir sufi isyari merupakan tafsir yang dilakukan oleh yang makrifah kepada Allah dan tentu telah memahami makna tekstual/makna lahir suatu ayat, sebelum menuju kepada makna isyarat suatu ayat harus menguasai makna lahir ayat dan memahami makna isyaratnya.
c.Tafsir Sufi ini akan menambah wawasan dan pengetahuan terhadap isi kandungan al-Qur’an yaitu berdasarkan ilmu-ilmu sufi.
2.Kekurangan
a.Tafsir sufi terkadang jauh dari ketentuan-ketentuan agama yang qath’i, menggunakan hawa nafsu dan rasio yang bertentangan dengan makna lahir suatu ayat yang telah dijelaskan dalam al-Quran.
b. Kitab tafsir ini berbeda dengan kitab tafsir  tahlili lainnya. Kitab tafsir ini tidak menjelaskan asbabunnuzul, nahwu, qiraah dalam suatu  ayat. Penjelaannya sangat pendek, kemudian dilanjutkan dengan ayat setelahnya.



D.Sistematika Penulisan
         Sistematika penulisan kitab tafsir Latif al-Isyarat karya Imam al-Qursyairi menggunakan tartib mashafi yaitu sistematika penulisan al-Quran yang berdasarkan susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an dan yang lengkap 30 juz dari surat al-Fatihah hingga surat An-Nas. Dalam menafsirkan surat Al-Fatihah beliau memulai dengan menyebutkan Surah Fatihah al-Kitab[13]. Kemudian menjelaskan tentang surat al-Fatihah dan memulainya dengan ayat pertama hingga terakhir. Dan dalam menafsirkan surat lain beliau menyebutkan surah allatii yuzkaru fiihaa An-Nisa, begitu juga dengan ayat selanjutnya. Dan dalam menafsirkan suatu ayat beliau menyebutkan qauluhu jaalla dzikrahu. Demikian sistematika penafsiran Imam al-Qusyairi hingga surat An-Nas.
PENUTUP
           Imam al-Qusyairi merupakan seorang yang ahli sufi dan juga menafsirkan suatu ayat dalam al-Qur’an. Beliau banyak belajar denagn ulama-ulama yang terdapat di Naisabur. Gurunya yang terkenal adalah Syeikh ad-Daqaaq. Dari beliaulah Imam al-Qusyairi memperoleh ilmu tasawuf dan menafsirkan suatu al-Qur’an. Penafsiran al-Qur’an dikalangan kaum sufi mempunyai metodologi yang berbeda dengan penafsiran ulama lainnya. Para sufi menggunakan makna dhahir suatu ayat  dan juga makna zhahir suatu ayat dalam menafsirkan suatu ayat.
          Metode yang digunakan Imam al-Qusyairi dalam menafsirkan al-Qur’an adalah metode tahlili walaupun dalam beberapa ayat beliau menafsirkannya ecara singkat dan ringkat. Bentuk dan corak yang beliau gunakan bir-ra’yi dengan corak sufi karena beliau mengungkapkan dhahir suatu ayat dan makna bathin suatu ayat. Sedangkan sistematika  yang beliau gunakan adalah tartib mashafi, karena menafsirkan ayat Al-Qur’an secara urutan ayat dalam mushaf dari surat Al-Fatihah hingga surat An-nas.
           Kitab tafsir ini telah memberikan warna lain yang berbeda dengan kitab tafsir lainnya. Walaupun demikian, kitab tafsir ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam penafsirannya.Penafsiran sufi terkadang jauh dari maksud dan kandungan makna literal ayat-ayat Al-Qur’an. Dibutuhkna sikap kehatian-hatian dan kritis dalam melihat suatu kitab tafsir. Sikap kehati-hatian ini akan menumbuhkan sikap terbuka dan toleransi terhadap berbagai corak penafsiran serta menempatkan berbagai corak tersebut secara proposional.


Daftar Pustaka
An-Naisaburi, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Al-Risalah al-Qusyairiyah. Jakarta:Pustaka Amani.2002
Ahmad Bangun Nasution. Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya dan diserti dengan Biografi Tokoh-Tokoh Sufi . Jakarta:Rajawali Press.2013
Abdul Majid Abdus Salam.Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporeer. Jakarta: Al-Izzah.1997
Az-Zahabi, Muhammad Husein. Tafsir wal Mufassirun. Mesir:Dar al-Kutub al-Hadisah.1961
As-Siddiqiey, Hasbi. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Jakarta:Bulan Bintang.1980
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf  Jakarta:RajaGrafido Persada. 1994
Baidhawi, Ahmad.Studi Kitab Tafsir Klasik-Tengah.Yogyakarta:TH-Press.2010
Manna’ al-Qattan. Mabahis fi Ulumu al-Qur’an. Mansyurat al-Ash al-Hadits.1973
Mani’ Abdul Halim Mahmud. Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif metode para ahli tafsir  Jakarta:RajaGrafido Persada.2006
Qusyairi. Abu al-Qasim. Lathaif Isyarat. Mesir:al-Hai’ah al-Misruyah al-Ammah li al-Kitab.1981
Qusyairi. Risalah al-Qusyairiyah.Beirut:Dar al-Khair. Al-Ammah li al-Kitab.1981.
Rivay Siregar. Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta:RajaGrafido Persada.2002


                 [1] Nasruddi Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005), h.401
               [2] Imam al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat (Mesir:al-Hai’ah al-Misriyyah al-Ammah li al-Kitab,1977), h.12
                [3] Imam al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat,..hal.12
                 [4] Imam al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat,..h.12
                  [5] Imam al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, (Jakarta:Pustaka Amani,2002), h.
                    [6]Imam al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat,..h.
            [7]Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman dan Pengaplikasiannya dan diserti dengan Biografi Tokoh-Tokoh Sufi (Jakarta:Rajawali Press,2013), H.220
           [8] Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf ( Jakarta:RajaGrafido Persada,1994),h.320
            [9] Muhammad Husein adz-Zahabi, Tafsir wal Mufassirun (Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah,1961), h.
                [10] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif metode para ahli tafsir          ( Jakarta:RajaGrafido Persada,2006), h.184-185
           [11] Abdul Munir,Penelitian Disertasi dengan judul Penafsiran Imam al-Qusyairy dalam kitab Tfasir Lathaif al-Isyarat ( Studi terhadap metode penafsiran dan aplikasinya), h.
             [12] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ulumu al-Quran ( Mansyurat al-Ash al-Hadits, 1973), h.
             [13] Imam al-Qusyairi, Lathaif al-Isyarat,..h.

Pengertian Hadits Tarbawi