A. Latar Belakang
Umat muslim adalah umat yang berlandaskan atau
berasaskan pada dua asas yaitu al-quran dan hadis ( al—kitab dan as-sunnah),
lain halnya dengan agama lain.mengapa demikian? Karna semua tata car kehidupan
manusia telah tersusun rapi dalam al-quran, baik tentang ketata negaraan,
ekonomi, politik, hukum-hukum islam, perdagangan, dan lain sebagainya, semua
telah tertera dalam susunan kata-kata indah dalam alquran.
Kandunagan didalamnya tidak hanya syair-syair yang
memukau yang sanggup mengalahkan jutaan bahkan triliunan syair yang terhebat di
dunia, juga tidak hanya kisah-kisah, juga terkandung makna yang begitu berharga
sehingga ia dikatakan mu’jizat yang paling besar diantara mukjizat yang
lainnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk mempelajari
segala yang terkandung di dalamnya, maka dari awaal yang harus kita ketahui
adalah sejarah terkumpulnya al-quran.
b.
PENGUMPULAN
AL-QU’AN
Di
kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (jam’ Al- Qur’an)memiliki dua
konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara
keseluruhan.
1. Proses
Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu
merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi.Oleh karena itu , ketika Wahyu itu
datang Nabi langsung menghapalnya dan memhaminya.Dengan demikian Nabi adalah
orng yang pertama kali menghapal Al-Qur’an.Imam Bukhari mencatat sekitar 7
orang sahabat yang terkenal hapalan Al-Qur’annya.Merek a adalah: ‘Abdullah bin
Mas’ud, Salim bin Mi’fal (Maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’azd bin Zabal, Ubai bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As- Sakan , dan Abu ad- Darda.
Selain dari ke tujuh sahabat di
atas ada juga di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat penghapal Al-Qur’an
, seperti ‘Aisyah, Hafshah, Ummul Salamah, dan Ummu Waraqah.
2. Proses Penulisan
Al-Qur’an
a.
Pada
Masa Nabi
Kerinduan nabi atas
kedatangan wahyu tidak saja diespresikan dalam bentuk hafalan, melainkan juga
bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris
pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu .mereka adalah Abu Bakar,
‘Umar, Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-walid, dan Mua’awiyah bin
Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa nabi sangat sederhana. Mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tulis menulis Al-Quran pada
masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para
sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadis
Nabi—sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim:
Artinya : “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R.Muslim)
Di antara faktor yang mendorong
penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
1.
Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi
dan para sahabatnya,
2.
Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling
sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena
terkadang mereka terkadang lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun
akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran ditulis tidak di
tempat tertentu.
Uraian di atas
memperlihatkan bahwa karekteristik penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah
bahwa Al-Quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang
terpisah-terpisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut :
1.
Proses punurunan Al-Quran masih berlanjut sehingga
ada kemungkinan ayat yang turun belakangan
“menghapus” redaksi dan ketentuan
hukum ayat yan g sudah turun dahulu.
2.
Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Quran tidak
bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertoloak dari keserasian antara suatu
ayat dengan ayat lainnya, atau antara suatu surat dengan surat yang lain. Oleh
karna itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu
ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.
b.
Pada
masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1. Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddq
Pada
dasarnya, seluruh Al-Quran sudah di tulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya
saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan
terpencar-pencar Dan orang yang pertama kali menyusunya dalam satu mushaf
adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu ‘abdillah Al-Muhasibi berkata
di dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang
baru”. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan
Al-Quran berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta,
dan bantalan dari kayu. Abu Bakar
kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan Al-Quran
yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang Yamamah pada tahun 12 H.
Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut
Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat
penghapal Al-Quran syahid. Khawtir akan semakin hilangnya para penghapal
Al-Quran, sehingga kelestarian Al-Quran juga ikut terancam, ‘Umar datang
menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan
Al-Quran dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hapalan maupaun
tulisan.
Zaid bin Tsabit, salah
seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari ( kitab “Fadh’ il
Al-Quran”. Bab III dan IV; kitab “Al-Ahkam”, bab XXXVII), mengisahkan bahwa
setelah petristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Quran,
Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu ‘Umar bin
Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “Umar telah mendatangiku
dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah berlangsung sengit dan meminta
korban sejumlah qari’ Al-Quran. Aku khawatir hal ini meluas kepada para
penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghapal Al-Quran yang hilang. “Aku
memandang perlunya penghimpunan Al-Quran”.
Setelah
Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia
arahkan kepada Umar karena usul penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin
kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” Umar lalu menjawab,
“Demi Allah, ini sesuatu yang baik”. Dan ketika Umar belum selesai mengucapkan
kalimatnya, Allah telah melegakan hati
Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Quran. Kemudian Abu Bakar berkata
kepada Zaid, “kau adalah seorang lelaki
yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental).dahulu
kau menulis wahyu untuk Rasulullah. (sekarang), lacaklah Al-Quran”.
Bagi
Zaid, tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar bukan hal yang ringan. Hal ini
bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar
dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku
memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat daripada yang kau
perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Quran”.
Dalam
melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat
yang dukumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hapalan,
tanpa didukung tulisan. Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya
sebagaimana tertuang pada akhir hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari di atas,
“... Hingga aku temukan akhir surat At-Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah
Al-Anshari”. Ungkapannya itu tidak menunjukkan bahwa akhir surat At-Taubah [9]
itu tidak mutawatir, tetapi lebih menunjukkan bahwa hanya Abu Khuzaimah
Al-Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat-sahabat lainya juga menghapalnya,
tetapi tidak memiliki tulisannya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam
mengumpulkan Al-Quran sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan
‘Umar. Abu Bakar berkata :
Artinya :
“Duduklah kalian di pintu mesjid.
Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi,
maka catatlah”.
Riwayat yang berkaitan juga
dikeluarkan Ibn Abi Dawud melalui jalan Yahya bin ‘Abdirrahman bin Hatib yang
menceritakan bahwa ‘Umar berkata :
Artinya : “Siapa saja pernah
mendengar seberapa saja ayat Al-Quran dari Rasulullah, sampaikanlah (kepada
Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnya dalam suhuf, papan,
dan pelepah kurma. Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapa pun sebulum diperkuat
dua saksi.
Di dalam menerangkan
pengertian “dua saksi” riwayat ini, perlu disimak pendapat Ibn Hajar. Menurut
tokoh hadis kenamaan ini, syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya
dalam bentuk hapalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang
membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua
hapalan dan tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu
yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa
diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan hapalan sahabatnya.
Pemahaman
Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda dengan apa yang ditangkap
As-Sakhawi (w.643 H.). Asy-Syakhawi
memandang bahwa syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat
tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki
dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa cartatan itu memang ditulis dihadapan
Nabi.
Pekerjaan
yang dibebankan ke pada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu
tahun, yaitu pada tahun 13 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, ‘Umar, dan para
tokoh sahabat lainnya. Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut
dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, ,Umar, dan
Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. ‘Umar yang terkenal dengan
terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punyai arti
tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya
menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan,
ketelitian, dan kerja keras.
Setelah sempurna,
kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Quran yang sudah terkumpul itu
dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah di dalam kitab Al-
Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa
bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab.
Artinya :
“Setelah
Al-Quran terkumpul, mereka munuliskannya di atas kertas. Abu Bakar berkata,
‘carilah nama untuk Al-Quran yang sudah di tulis ini’. Sebagian sahabat
mengusulkan nama ‘As-Sifr’. Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan
orang-orang yahudi’. Merka pun tidak menyukai nama itu. Sebagian Sahabat yang
lain mengusulkan nama “Al-Mushaf” karena orang-orang Habsyi pun memakai nama
itu. Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu”.
Setelah Abu Bakar wafat,
suhuf-suhuf Al-Quran itu disimpan khalifah ‘Umar dan ketika ‘Umar wafat, mushaf
itu disimpan hafsah, bukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah yang
menggantikan ‘Umar. Timbul pertanyaan, mengapa mushaf itu tidak diserahkan
kepada khalifah setelah ‘Umar? Pertanyan itu logis. Hanya ‘Umar , menurut
Zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, ‘Umar
memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah
seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau ‘Umar memberikan mushaf
yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu , ia khawatir
hal tersebut di interpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang
mushaf. Padahal, ‘Umar ingin memberikan kebebasan sepunuhnya kepada enam
sahabat itu untuk memilih di antara mereka yang layak menjadi khalifah. Ia
menyerahkan mushaf iitu kepada Hafsah yang lebih dari layak memegang mushaf
yang sangat bernilai. Terlebih lagi, ia adalah istri Nabi dan sudah menghafal
Al-Quran secara keseluruhannya.
2. Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
Penjelasan
tradisioanal, berupa hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan
yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Quran
menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca )
Al-Quran terdapat dalam salinan-salinan Al-Quran yang ada pada masa ‘Utsman bin
‘Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan pada kita bahwa swlama pengiriman
ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan
Al-Quran muncul dikalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut
dari Siria dan sebagian lagi dari Irak. Perselisihan ini cukup serius hingga
menyebabkan pimpinan tentara muslim, Hudzaifah, melaporkan kepada khalifah
‘Utsman (644-656 ) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri
perbedaan-perbedaan tersebut. Khalifah lalu berembuk dengan para sahabat senior
Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-Quran. Bersama
Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang : ‘Abdullah bin
Zubai, Sa’id bin Al-‘Ash, daan ‘Abd Ar-Rahman bin Al-Harits.
Satu
prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankkan tugas ini adalah bahwa dalam kasus
kesulitan bacaan, dialek Quraisy –suku dari mana Nabi berasal –harus dijadikan
pilihan. Keseluruhan Al-Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan
suhuf yang berad ditangan Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi
Al-Quran selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif ( absah )
Al-Quran, yang sering juga disebut mushaf ‘Utsmani, yang telah ditetapkan.
Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah islam.
Az-Zarqani
mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit
sebagai berikut :
a)
Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah
diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Quran yang dibaca Nabi pada pemeriksaan
Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
b)
Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Quran,
tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
c)
Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam
bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafazh yang dibca dengan lebih
satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap mushaf. Mereka
tidak menululiskan bacaan tersebut dalam satu mushaf karena merasa khawatir
akan ada anggapan bahwa lafazh tersebut diturunkan berulang kali dalam bacaan
yang berbeda. Padahal, sabenarnya lafazh tersebut hanya turun satu kali yang
dapat dibaca dengan bacaan lebih dari satu macam. Mereka juga menghindari
penulisan lafazh dangan dau rasm dalam satu mushaf untuk menghindari dugaan
bahwa rasm itu merupakan koreksi untuk yang lainnya.
d)
Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai
bahasa, ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan
dalam bahasa tersebut.
Inisiatif
‘Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya sangat beralasan. Betapa
tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu
sudah berada pada titik yang menyebabkan umat islam saling menyalahkan dan pada
ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan
bahwa perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan
perang islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang
dari Syam
(Syiria
) mengikuti qira’at Ubai bin Ka’ab, mereka yang berasal dari Irak membacanya
sesuai dangan qira’at Ibn Mas’ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang
mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing pihak merasa bahwa qira’at
yang dimilikinya lebih baik.
Riwayat
lain yang dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa khalifah
‘Utsman, seoarang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, dan guru (lainnya)
mengajarkan qira’at tokoh (lainya). Anak-anak bertemu dan berpecah. Persoalan
ini terangkat sampai kepada para guru yang pada gilirannya saling mengafirkan.
Mengenai
jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat Pengirimannya, hadis
memberikan penjelasan yang berbeda-beda; tetapi kemungkinannya, satu salinan
disimpan di Madinah dan salinan-salinan lain dikirim ke kota-kota Kufah,
Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Quran
yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi ‘Utsmani, diberitakan telah
dimusnahkan, sehingga teks seluruh salinan Al-Quran yang akan dibuat pada
masa-masa selanjutnya didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
‘Utsman
memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi
persyaratan berikut:
a) Harus
terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
b) Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di
hadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c) Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu
Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman,
d) Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda dengan
lafazh-lafazh Al-Quran ketika turun,
e)
Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan.
Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna
ayat atau penjelasan nasikh –mansukh di dalam mushaf.
Pada masa Abu
Bakar
|
Pada
masa ‘Utsman bin ‘Affan
|
1.
Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya
Al-Quran dangan syahidnya beberapa penghapal Al-Quran pada perang Yamamah.
|
1.
Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak
perselisihan di dalam cara membaca Al-Quran (qira’at).
|
2.
Abu Bakar melakukannya daengan mengumpulkan
tulisan-tulisan Al-Quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit,
tulang, dan sebagainya.
|
2. ‘Utsman melakukannya dengan menyederhanakan
tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf dengannya Al-Quran
turun.
|
Perbedaan
penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan pada masa ‘Utsman bin ‘Affan, yaitu
sebagai berikut ini:
3) penyempurnaan
penulisan Al-Quran setelah
masa khalifah
Mushaf
yang ditulis diatas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda dan tanda
titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah
banyak orang non-Arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf
yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkeuka saat
itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua
tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) dan
Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan
seorang lelaki dari persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari
huruf yang dibuang. Misalnya , tulisan qalat (قلت) dan kanat ((كنت diganti
denganقالت dan كانت. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan
terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf
lebih mudah.
Upaya
penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan
oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.) ketika proses
penyumpurnaan naskah Al-Quran (mushaf ‘Utsmani ) selesai sdilakukan. Tercatat
pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai oarang yang pertama kali meletakkan
tanda titik pada mushaf ‘Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Al-Laits
(w. 89 H.). Adapun orang yang disebut-sebut pertma kali meletakkan hamzah,
tasyidid, Al-raum, dan al-isymam adalah Al-khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi
yang di beri kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H.).
Upaya
penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah
dilakukan generasi terdahulu.
Di
kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (jam’ Al- Qur’an)memiliki dua
konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara
keseluruhan.
a. Proses
Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu
merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi.Oleh karena itu , ketika Wahyu itu
datang Nabi langsung menghapalnya dan memhaminya.Dengan demikian Nabi adalah
orng yang pertama kali menghapal Al-Qur’an.Imam Bukhari mencatat sekitar 7
orang sahabat yang terkenal hapalan Al-Qur’annya.Merek a adalah: ‘Abdullah bin
Mas’ud, Salim bin Mi’fal (Maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’azd bin Zabal, Ubai bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As- Sakan , dan Abu ad- Darda.
Selain dari ke tujuh
sahabat di atas ada juga di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat
penghapal Al-Qur’an , seperti ‘Aisyah, Hafshah, Ummul Salamah, dan Ummu Waraqah
b. Proses Penulisan
Al-Qur’an
1.
Pada
Masa Nabi
Kerinduan nabi atas
kedatangan wahyu tidak saja diespresikan dalam bentuk hafalan, melainkan juga
bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris
pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu .mereka adalah Abu Bakar,
‘Umar, Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-walid, dan Mua’awiyah bin
Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa nabi sangat sederhana. Mereka
menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
Kegiatan tulis menulis Al-Quran pada
masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para
sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadis
Nabi—sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim:
Artinya : “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R.Muslim)
3.
Pada
masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1. Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddq
Bagi
Zaid, tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar bukan hal yang ringan. Hal ini
bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar
dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku
memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat daripada yang kau
perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Quran”.
Pekerjaan
yang dibebankan ke pada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu
tahun, yaitu pada tahun 13 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, ‘Umar, dan para
tokoh sahabat lainnya. Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut
dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, ,Umar, dan
Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. ‘Umar yang terkenal dengan
terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punyai arti
tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya
menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan,
ketelitian, dan kerja keras.
2. Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
Menurut
beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada
pada titik yang menyebabkan umat islam saling menyalahkan dan pada ujungnya
terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa
perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan
perang islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang
dari Syam .