Thursday, August 1, 2019

sejarah pengupulan Alquran


A.   Latar Belakang
Umat muslim adalah umat yang berlandaskan atau berasaskan pada dua asas yaitu al-quran dan hadis ( al—kitab dan as-sunnah), lain halnya dengan agama lain.mengapa demikian? Karna semua tata car kehidupan manusia telah tersusun rapi dalam al-quran, baik tentang ketata negaraan, ekonomi, politik, hukum-hukum islam, perdagangan, dan lain sebagainya, semua telah tertera dalam susunan kata-kata indah dalam alquran.
Kandunagan didalamnya tidak hanya syair-syair yang memukau yang sanggup mengalahkan jutaan bahkan triliunan syair yang terhebat di dunia, juga tidak hanya kisah-kisah, juga terkandung makna yang begitu berharga sehingga ia dikatakan mu’jizat yang paling besar diantara mukjizat yang lainnya.
Oleh karena itu, kita dituntut untuk mempelajari segala yang terkandung di dalamnya, maka dari awaal yang harus kita ketahui adalah sejarah terkumpulnya al-quran.

b.   PENGUMPULAN AL-QU’AN
Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (jam’ Al- Qur’an)memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
1.     Proses Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi.Oleh karena itu , ketika Wahyu itu datang Nabi langsung menghapalnya dan memhaminya.Dengan demikian Nabi adalah orng yang pertama kali menghapal Al-Qur’an.Imam Bukhari mencatat sekitar 7 orang sahabat yang terkenal hapalan Al-Qur’annya.Merek a adalah: ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’fal (Maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’azd bin Zabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As- Sakan , dan Abu ad- Darda.
Selain dari ke tujuh sahabat di atas ada juga di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat penghapal Al-Qur’an , seperti ‘Aisyah, Hafshah, Ummul Salamah, dan Ummu Waraqah.

2.     Proses Penulisan Al-Qur’an
a.     Pada Masa Nabi
Kerinduan nabi atas kedatangan wahyu tidak saja diespresikan dalam bentuk hafalan, melainkan juga bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris  pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu .mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-walid, dan Mua’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan  alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
            Kegiatan tulis menulis Al-Quran pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadis Nabi—sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim:

Artinya :  “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R.Muslim)
            Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah :
1.         Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya,
2.         Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka terkadang lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran ditulis tidak di tempat tertentu.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa karekteristik penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah bahwa Al-Quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisah-terpisah. Hal ini tampaknya bertolak dari dua alasan berikut :
1.         Proses punurunan Al-Quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan  “menghapus”  redaksi dan ketentuan hukum ayat yan g sudah turun dahulu.
2.         Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Quran tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertoloak dari keserasian antara suatu ayat dengan ayat lainnya, atau antara suatu surat dengan surat yang lain. Oleh karna itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.

b.    Pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1.      Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddq
Pada dasarnya, seluruh Al-Quran sudah di tulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar Dan orang yang pertama kali menyusunya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Oleh karena itu, Abu ‘abdillah Al-Muhasibi berkata di dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, “Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru”. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar  kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan Al-Quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 700 orang sahabat penghapal Al-Quran syahid. Khawtir akan semakin hilangnya para penghapal Al-Quran, sehingga kelestarian Al-Quran juga ikut terancam, ‘Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Quran dari berbagai sumber, baik yang tersimpan didalam hapalan maupaun tulisan.
                                    Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat Al-Bukhari ( kitab “Fadh’ il Al-Quran”. Bab III dan IV; kitab “Al-Ahkam”, bab XXXVII), mengisahkan bahwa setelah petristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu ‘Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, “Umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah berlangsung sengit dan meminta korban sejumlah qari’ Al-Quran. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghapal Al-Quran yang hilang. “Aku memandang perlunya penghimpunan Al-Quran”.
Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan datang darinya, “Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah?” Umar lalu menjawab, “Demi Allah, ini sesuatu yang baik”. Dan ketika Umar belum selesai mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati  Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Quran. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, “kau adalah seorang lelaki  yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental).dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. (sekarang), lacaklah Al-Quran”.
Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat daripada yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Quran”.
Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dukumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hapalan, tanpa didukung tulisan. Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya sebagaimana tertuang pada akhir hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari di atas, “... Hingga aku temukan akhir surat At-Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah Al-Anshari”. Ungkapannya itu tidak menunjukkan bahwa akhir surat At-Taubah [9] itu tidak mutawatir, tetapi lebih menunjukkan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al-Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat-sahabat lainya juga menghapalnya, tetapi tidak memiliki tulisannya.
Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Quran sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan ‘Umar. Abu Bakar berkata :
Artinya :
“Duduklah kalian di pintu mesjid. Siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi, maka catatlah”.
Riwayat yang berkaitan juga dikeluarkan Ibn Abi Dawud melalui jalan Yahya bin ‘Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa ‘Umar berkata :
Artinya : “Siapa saja pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Quran dari Rasulullah, sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menulisnya dalam suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapa pun sebulum diperkuat dua saksi.
                                    Di dalam menerangkan pengertian “dua saksi” riwayat ini, perlu disimak pendapat Ibn Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ini, syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hapalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua hapalan dan tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa  diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan hapalan sahabatnya.
Pemahaman Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda dengan apa yang ditangkap As-Sakhawi  (w.643 H.). Asy-Syakhawi memandang bahwa syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa cartatan itu memang ditulis dihadapan Nabi.
Pekerjaan yang dibebankan ke pada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, ‘Umar, dan para tokoh sahabat lainnya. Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, ,Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. ‘Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punyai arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras.
                                    Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al-Quran yang sudah terkumpul itu dinamakan “Mushaf”, sebagaimana disebutkan Ibnu Asytah di dalam kitab Al- Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalui jalan Musa bin ‘Aqabah dari Ibnu Syihab.

Artinya :
“Setelah Al-Quran terkumpul, mereka munuliskannya di atas kertas. Abu Bakar berkata, ‘carilah nama untuk Al-Quran yang sudah di tulis ini’. Sebagian sahabat mengusulkan nama ‘As-Sifr’. Abu Bakar berkata, ‘itu nama yang diberikan orang-orang yahudi’. Merka pun tidak menyukai nama itu. Sebagian Sahabat yang lain mengusulkan nama “Al-Mushaf” karena orang-orang Habsyi pun memakai nama itu. Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu”.
                                    Setelah Abu Bakar wafat, suhuf-suhuf Al-Quran itu disimpan khalifah ‘Umar dan ketika ‘Umar wafat, mushaf itu disimpan hafsah, bukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah yang menggantikan ‘Umar. Timbul pertanyaan, mengapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah ‘Umar? Pertanyan itu logis. Hanya ‘Umar , menurut Zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bahwa sebelum wafat, ‘Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau ‘Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabat itu , ia khawatir hal tersebut di interpretasikan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, ‘Umar ingin memberikan kebebasan sepunuhnya kepada enam sahabat itu untuk memilih di antara mereka yang layak menjadi khalifah. Ia menyerahkan mushaf iitu kepada Hafsah yang lebih dari layak memegang mushaf yang sangat bernilai. Terlebih lagi, ia adalah istri Nabi dan sudah menghafal Al-Quran secara keseluruhannya.
2.      Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
Penjelasan tradisioanal, berupa hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Quran menyiratkan bahwa perbedaan-perbedaan serius dalam qira’at ( cara membaca ) Al-Quran terdapat dalam salinan-salinan Al-Quran yang ada pada masa ‘Utsman bin ‘Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan pada kita bahwa swlama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Quran muncul dikalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria dan sebagian lagi dari Irak. Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pimpinan tentara muslim, Hudzaifah, melaporkan kepada khalifah ‘Utsman (644-656 ) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan tersebut. Khalifah lalu berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit “mengumpulkan” Al-Quran. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang : ‘Abdullah bin Zubai, Sa’id bin Al-‘Ash, daan ‘Abd Ar-Rahman bin Al-Harits.
                        Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankkan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy –suku dari mana Nabi berasal –harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berad ditangan Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Quran selesai digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif ( absah ) Al-Quran, yang sering juga disebut mushaf ‘Utsmani, yang telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah islam.
Az-Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban oleh Zaid bin Tsabit sebagai berikut :
a)      Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Quran yang dibaca Nabi pada pemeriksaan Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh.
b)      Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Quran, tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal.
c)      Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafazh yang dibca dengan lebih satu qira’at ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap mushaf. Mereka tidak menululiskan bacaan tersebut dalam satu mushaf karena merasa khawatir akan ada anggapan bahwa lafazh tersebut diturunkan berulang kali dalam bacaan yang berbeda. Padahal, sabenarnya lafazh tersebut hanya turun satu kali yang dapat dibaca dengan bacaan lebih dari satu macam. Mereka juga menghindari penulisan lafazh dangan dau rasm dalam satu mushaf untuk menghindari dugaan bahwa rasm itu merupakan koreksi untuk yang lainnya.
d)      Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut.
Inisiatif ‘Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang dari Syam

(Syiria ) mengikuti qira’at Ubai bin Ka’ab, mereka yang berasal dari Irak membacanya sesuai dangan qira’at Ibn Mas’ud. Tak jarang pula, di antara mereka yang mengikuti qira’at Abu Musa Al-Asy’ari. Masing-masing pihak merasa bahwa qira’at yang dimilikinya lebih baik.
Riwayat lain yang dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa khalifah ‘Utsman, seoarang guru mengajarkan qira’at tokoh tertentu, dan guru (lainnya) mengajarkan qira’at tokoh (lainya). Anak-anak bertemu dan berpecah. Persoalan ini terangkat sampai kepada para guru yang pada gilirannya saling mengafirkan.
Mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat Pengirimannya, hadis memberikan penjelasan yang berbeda-beda; tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah dan salinan-salinan lain dikirim ke kota-kota Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinan-salinan Al-Quran yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi ‘Utsmani, diberitakan telah dimusnahkan, sehingga teks seluruh salinan Al-Quran yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut.
‘Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
a)      Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
b)     Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir,
c)      Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman,
d)     Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakup qira’at yang berbeda dengan lafazh-lafazh Al-Quran ketika turun,
e)      Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya yang ditulis di mushaf sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh –mansukh di dalam mushaf.

Pada masa Abu Bakar
Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
1.        Motivasi penulisannya adalah khawatir sirnanya Al-Quran dangan syahidnya beberapa penghapal Al-Quran pada perang Yamamah.
1.        Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca Al-Quran (qira’at).
2.        Abu Bakar melakukannya daengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang, dan sebagainya.
2.  ‘Utsman melakukannya dengan menyederhanakan tulisan mushaf pada satu huruf dari tujuh huruf dengannya Al-Quran turun.
Perbedaan penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan pada masa ‘Utsman bin ‘Affan, yaitu sebagai berikut ini:


3)    penyempurnaan penulisan Al-Quran setelah masa khalifah
                        Mushaf yang ditulis diatas perintah ‘Utsman tidak memiliki harakat dan tanda dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkeuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu ‘Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Misalnya , tulisan qalat (قلت) dan kanat  ((كنت diganti denganقالت   dan  كانت. Adapun Al-Hajjaj melakukan penyempurnaan terhadap mushaf ‘Utsmani pada sebelas tempat yang karenanya membaca mushaf lebih mudah.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H (atau akhir abad IX M.) ketika proses penyumpurnaan naskah Al-Quran (mushaf ‘Utsmani ) selesai sdilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai oarang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf ‘Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Al-Laits (w. 89 H.). Adapun orang yang disebut-sebut pertma kali meletakkan hamzah, tasyidid, Al-raum, dan al-isymam adalah Al-khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang di beri kunyah Abu ‘Abdirrahman (w. 175 H.).
        Upaya penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu.



Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-qur’an (jam’ Al- Qur’an)memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Qur’an dan konotasi penulisannya secara keseluruhan.
a.     Proses Penghapalan Al-Qur’an
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang dirindukan Nabi.Oleh karena itu , ketika Wahyu itu datang Nabi langsung menghapalnya dan memhaminya.Dengan demikian Nabi adalah orng yang pertama kali menghapal Al-Qur’an.Imam Bukhari mencatat sekitar 7 orang sahabat yang terkenal hapalan Al-Qur’annya.Merek a adalah: ‘Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Mi’fal (Maula’-nya Abu Hudzaifah), Mu’azd bin Zabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin As- Sakan , dan Abu ad- Darda.
Selain dari ke tujuh sahabat di atas ada juga di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat penghapal Al-Qur’an , seperti ‘Aisyah, Hafshah, Ummul Salamah, dan Ummu Waraqah
b.    Proses Penulisan Al-Qur’an
1.     Pada Masa Nabi
Kerinduan nabi atas kedatangan wahyu tidak saja diespresikan dalam bentuk hafalan, melainkan juga bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris  pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu .mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, Abban bin Sa’id, Khalid bin al-walid, dan Mua’awiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan  alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
            Kegiatan tulis menulis Al-Quran pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadis Nabi—sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim:

Artinya :  “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah ia menghapusnya”. (H.R.Muslim)
3.     Pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin
1.      Pada masa Abu Bakar Ash-Shiddq
Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan khalifah Abu Bakar bukan hal yang ringan. Hal ini bisa dipahami dari kalimat yang terlontar dari mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, “Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak lebih berat daripada yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpun Al-Quran”.
Pekerjaan yang dibebankan ke pada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, ‘Umar, dan para tokoh sahabat lainnya. Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, ,Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. ‘Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punyai arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras.
2.      Pada masa ‘Utsman bin ‘Affan
Menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang dari Syam .

Pengertian Hadits Tarbawi