Tuesday, March 24, 2015

Isu-Isu Kontemporer tentang Ulumul Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
       Ulumul Qur’an atau Studi Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an. Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berlaku sepanjang zaman dan tidak pernah habis dan selesai untuk dibahas. Inilah yang membuktikan kemukizatan Al-Qur’an sekaligus perbedaan Al-Quran dengan kitab-kitab lainnya. Pengkajian studi sangatlah penting bagi umat islam khususnya dalam mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Untuk memudahkan dalam membahas misalnya pendekatan yang digunakan dalam studi islam, perkembangan isu-isu kontemporer tentang ulumul Quran, dan kontribusi para ilmuan Barat dalam studi Al-Quran.
        Dalam studi al-quran kontemporer pendekatan  sering digunakan adalah hermeneutika. Karena pada dasarnya hermeneutika itu berkaitan erat dengan bahasa, yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana maupun tulisan. Al-Quran sendiri tidak terlepas dari teks atau bahasa yang harus diinterpretasikan dengan kontek sosial yang ada. Dalam pembahasan berikutnya akan dipaparkan tentang hermeneutika serta persamaan dan perbedaannya dengan Ilmu Tafsir.
       Ilmuan muslim baik klasik maupun kontemporer telah begitu banyak menyusun kitab-kitab yang membahas menyangkut dengan Al-Quran dengan berbagai pendekatan, metodologi dan corak pengkajian. Ternyata studi alquran ini tidak hanya mendapat perhatian serius dari para ilmuan muslim saja, tetapi di era modern ini, juga telah banyak bara ilmuan barat yang mencoba melakukan studi terhadap Al-Quran. Seperti Gustav Weil dalam bukunya Historische-Kritische Einleitung in den Koran  yaitu pada tahun 1844.
      Usaha-usaha yang dilakukan  dari beberapa orientalis barat yang berusaha mempelajari studi Al-Quran dan mempelajari fase-fase yang berhubungan dengan sejarah turunnya, sedikit banyaknya telah mempengaruhi perkembangan Studi Al-Quran di akhir-akhir ini, lebih-lebilh lagi banyaknya orang muslim yang  belajar agama di Dunia Barat, yang pada akihrnya memberikan warna tersendiri bagi perkembangan studi islam pada umumnya dan Studi Al-Quran pada khususnya.
     Begitu juga dengan ilmuan muslim yang telah melakukan daya upaya dan potensi yang  ada agar dapat menginterpretasikan makana Al-Qur’an secara aktual dan kekinian, sehingga melahirkan sejumlah metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang baru, seperti Fazlur Rahman dan lain sebagainya.





                                                                   BAB II
PEMBAHASAN
ISU-ISU KONTEMPORER TENTANG ULUMUL QUR’AN
A.Hermeneutika
1.Pengertian Hermeneutika
      Secara etimologis kata hermeneutika beresal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menginterprestasikan, menjelaskan, menerjemahkan atau menafsirkan. Secara lebih khusus istilah ini diambil dari nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang dianggap sebagai anak dari Dewa Zeus. Yang dianggap sebagai nabi atau penjelas terhadap mitologi Yunani yang menerjemahkan pesan-pesan ke dalam bahsa yang dimengerti manusia yang menyampaikan pesan dari (Dewa Zeus) Tuhan[1].
      Secara terminologi  hermeneutika adalah ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Sehingga hermeneutika tidak hanya menjelaskan kata demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai penerjemah yang membuat kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna sehingga memunculakn beberapa penjelasan atau hal-hal lain sebagai tambahan. Hermeneutika mengupayakan untuk memperoleh pemahaman yang benar, apa yang ditulis dalam teks dan dapat ditangkap oleh pembaca apa yang dimaksud oleh pengarangnya.
       Hermeneutika tidak hanya memandang teks dan berusaha menjelaskan makna kandungan literalnya. Lebih dari itu hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekontruksi dan reproduksi makna teks[2]. dan melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang dimasukkan dan diinginkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi kondisi saat teks tersebut dibaca dan dipahami.
       Konsep yang dibangun hemeneutika ini memang cukup menarik karena hermenetika ini berusaha untuk mengetahi makna yang terdalam dari suatu teks dan berusaha menjembatani penulis, teks dan pembaca sehingga akan terjadi kesinkronan antara teks dan kontes yang akhirnya akan memunculakan konstekstualitas[3].Tiga unsur hermeneutika adalah pertama teks adalah subjek, maksudnya adalah bahwa benar jika kita berhdapan kepada teks dimana di dalamnya termuat data-data filosof, dalam sebuah analisa tidak hanya semata-mata kumpulan filosofis melainkan sebuah subjek sejarah. Kedua dimensi bahasa, ketiga dimensi spritualitas. Bahwa pembacaan, pemahaman dan penafsiran tersebut merupakan bentuk hermeneutika.
         Apakah Tafsir Klasik menafsirkan Al-Quran disebut kegiatan hermeneutika? Sekalipun tidak persis sama, tapi dengan ukuran tiga unsur utama hermeneutika , tafsir Al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai kegiatan hermeneutika. Pertama dari segi adanya pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Quran jelas menafsirkan teks-teks yang terdapat di dalam kitab suci Al-Quran. 
           Kedua, harus ada kelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan itu. Pesan-pesan Al-Quran itu harus dijelaskan sedemikian rupa sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan mereka. Ketiga adanya pengantara yang paling dekat dengan kedua belah pihak. Untuk unsur ketiga ini yang paling dekat dengan sumber yaitu Allah SWT adalah Nabi Muhammad SAW khulafaurrasyidin dan para sahabat sebagai rujukan utama dalam menafsirkan pesan-pesan Allah dinamakan dengan  tafsir bil ma’tsur. Sistem sanad diperlukan untuk menjaga otentitas dan validitas penjelasan Nabi tentang maksud Allah. Sedangkan masAlah kedekatan para mufassir dengan pembaca, tentu saja hal ini tercapai pada saat penafsiran itu disampaikan kepada umat yang hidup pada zamannya.
          Semakin jauh pembaca tafsir dari mufasir semakin jauh pula jarak antar keduanya. Sehingga dalam kurun-kurun waktu kemudian sebagian dari penafsiran itu menjadi tidak relevan atau malah sudah kadaluarsa. Disinalah diperlukan penafsiran. Tapi tentu saja untuk hal-hal yang bersifat statis, subtantif dan universal penjelasan klasik tidak perlu ada perubahan mungkin sudah relevan, yang terasa kadaluarsa hanyalah aspek historisitas dari hal-hal yang bersifat subtantif tersebut. Misalnya ilustrasi yang diberikan oleh mufassir adalah mistqala habbatim min khardalin fa takun fi sakhratin( seberat biji sawi dan berda dalam batu) mungkin kata biji sawi dulu itu adalah yang peling terkecil sebelum ditemukan atom yang tidak bisa dipecahkan lagi[4].
      Dari segi teks yang ditafsirkan, seluruh mufassir klasik tanpa kecuali meyakini bahwa teks suci Al-Quran berbeda dengan teks-teks lainnya, termasuk teks hadits Nabi Muhammad SAW. Teks suci Al-Quran  sepenuhnya berasal dari Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Tidak ada intervensi manusia sedikit pun dalam pemilihan kata, penyusunan kalimat, apalagi dalam menentrukan isi atau pesannya. Keterlibatan manusia, hanyalah rasululah dan para sahabat dalam menghimpun dan menjaga ontentitas. Oleh karena itu teks-teks suci Al-Quran semuanya otentik dan valid. Sedangkan penulisannya disepakati adalah sistem penulisan ustmani ( rasam ustmani) yang menjadi acuannya. Pesan Allah disampaikan dengan menggunakan bahasa arab.  Tentu saja sebuah bahasa tidak terlepas dari latar belakang sosial budaya tempat, waktu dan pengguna bahasa tersebut . Selain pendekatan bahasa para mufassir juga melacak asbabunnuzul suatu ayat atau latar belakang turunnya sebuah ayat.
        Pendekatan hermeneutika barulah nanti dapat ditemukan pada beberapa penafsiran kontemporer, paling kurang dalam metodologi yang ditemukan, seperti yang dikatakan Fazlurrahman dengan pendekatan historisnya  dimana yang diperhatikan oleh mufassir tidaklah konteks sosial tatkal ayat tersebut diturunkan, tetapi juga perlu dihubungkan dengan konteks sosial kekinian[5].
          Itulah awal mula kemunculan hermeneutika sebagai sebuah disiplin dalam studi Al-Quran sebuah kontribusi yang signifikan terhadap disiplin ilmu ini akan ditemukan dalam masyarakat dimana umat islam bercita-cita mencapai pengertian kontemporer terhadap perkataan Tuhan ditengah-tengah perjuangan aktif dalaam menegakkan keadilan[6].
2.Persamaan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
-tiga pokok unsur dalam teori hermeneutika tidak jauh berbeda dengan teori yang dipakai para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ketiga unsur tersebut adalah siapa yang mengatakannya, kepada siapa ia diturunkan, ditujukan kepada siapa.
-Ilmu tafsir juga mempunyai tujuan yang sama dengan hermeneutik, yakni ingin menjelaskan suatu teks dengan sebenar-benarnya[7].
3.Perbedaan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir
Hermeneutika
-Berwenang menginterpretasi risalah yang akan disampaikan.
-Tidak ada kontrol dari dewa tentang risalah yang disampaikan apakah telah sesuai dengan norma yang berlaku atau tidak.
-Hermeneutika dalam proses penafsiran tidak mementingkan urutan prosedural yang akan diterapkan.
-Teori hermeneutika sangat simple dan umum[8].
Ilmu Tafsir
-Tidak berwenag mengubah sedikit pun risalah yang akan disampaikan kecuali hanya sebatas menyampaikan apa adanya dan sekedar memperjelas jikalau ada pesan yang kurang jelas
-Selalu berada di bawah kontrol Allah, sehingga Nabi Muhammad menyampaikan kepada umatnya sebagaimana yang diperintahkan Allah.
-Teori ilmu tafsir langkah-langkah prosedural dalam penafsiran Al-Qur’an sangat dibutuhkan
-Kaidah-kaidah dalam Ilmu Tafsir semua diuji dalam pembahasan ulumul Qur’an.
       
B.Kesetaraan Gender dalam Persfektif  Feminisme Islam
            Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun 1990-an. Feminisme ini berkembang terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia, dan Indonesia. Kekhasan feminisme Islam adalah berupaya untuk membongkar sumber-sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab munculnya dominasilaki-laki dalam penafsiran hadis dan al-Qur’an. Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan normatif yang bias gender,tetapi dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender yang dikembalikan kepada semangat Islam yang lebih menempatkan ideologi pembebasan perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan harkat manusia.  Beberapa tokoh feminis muslim antara lain: Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Malaysia), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Malaysia), serta beberapa orang Indonesia antara lain: Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies Marcoes-Natsir, Siti Ruhaini Dzuhayatin dan lain sebagainya.
           Dengan semangat feminisme, maka muncullah berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang dilakukan para intelektual muslim, yang dikenal dengan sebutan feminis muslim. Munculnya gagasan dan kajian tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi besar wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer.
            Salah satu karya yang cukup jernih membicarakan kedudukan perempuan dalam pandangan al-Qur’an ditulis oleh salah seorang pemikir feminis kelahiran Malaysia, Amina Wadud Muhsin. Dia menamatkan studinya dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu Guru Besar di Departemen Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia. Salah satu tulisannya yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap pemikiran feminismenya adalah Qur’an and Woman (1992). Amina pernah membuat geger para ulama dunia, termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khatib dan imam shalat Jum’at di New York City tanggal 18 Maret 2005. Beberapa waktu lalu juga terbit buku Amina yangberjudul Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006)[9].
          Dalam bukunya Qur’an and Woman, Amina mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam tiga corak: tradisional, reaktif dan holistik. Tokoh feminis muslim berikutnya yang tak kalah fenomenal adalah Fatima Mernissi. Dia lahir di sebuah harem di kota Fez, Maroko bagian utara pada tahun 1940, dari keluarga kelas bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut Mernissi penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya. Begitu juga penafsiran hadits yang berkenaan dengan kepemimpinan perempuan.
            Dalam kajian gender berasumsi, bahwa perbedaan gender, bahkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses sejarah yang panjang dan dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi keagamaan. Para feminis muslim dalam memperjuangkan kesetaraan gender lebih memfokuskan pada dua hal penting. Pertama, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial masyarakat muslim tidak berakar pada ajaran Islam , tetapi pada pemahaman yang bias laki-laki yang selanjutnya diyakini sebagai ajaran Islam yang baku, dan kedua, dalam rangka bertujuan mencapai kesetaraan perlu pengkajian kembali terhadap sumber-sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan relasi gender dengan bertolak dari prinsip dasar ajaran, yakni keadilan dan kesamaan derajat.
C.Analisis Asbabun Nuzul
1.Teori Asbabun Nuzul Klasik
      Analisis asbabun nuzul merupakan suatu analisis yang memperhatikan hal ihwal kondisi, suasana, keadaan atau kejadian diman Al-Quran diturunkan. Oleh karena itu memahami asbabun nuzul sama halnya dengan memahami konteks diturunkannya suatu ayat. Pemahaman terhadap konteks ini akan mempermudah para mufassir untuk memberikan implikasi pemaknaan dengan kondisi yang sesuai dengan tempat dan saat seorang mufassir hidup[10].
     Asbabun nuzul ditinjau dari aspek bentuk kejadiannya dapat berupa peristiwa dan pertanyaaan. Analisis asbaabun nuzul ini menurut teori ulumul Qur’an klasik lebih mengedepankan pemahaman terhadap riwayat, sebab sumber utama dari asbabun nuzul berupa riwayat-riwayat yang menceritakan tentang sebab turunnya suatu ayat Al-Quran. Oleh sebab itu, kekuatan asbabun nuzul sngat bergantung pada kesahihan riwayatnya.
      Selain dari kekuatan tersebut, terdapat prolematika dalam memahami asbabun nuzul. Kesulitan tersebut sebab beberapa riwayat asbabun nuzul ada sebab turunnya diriwayatkan berkali-kali dan menceritakan tentang kondisi yang berbeda sedagkan ayat yang dijelaskan hanya satu. Kemudian, ada kondisi sebaliknya dimana sebab yang diceritakan dalam beberapa riwayat hanya satu, sedangkan ayat yang disebabkan turunnya hanya satu.
        Menghadapi keadaan yang demikian, maka dalam rangka memahami asbabun nuul yang berbilangan riwayat dan berbeda isi atau ayat yang diturunkanya, maka:
a.       Apabila beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama berada pada tingkatan kualitas sahih akan tetapi yang satu menjelaskan tentang sebab turun ayat secara tegas sedang yang lainnya tidak, maka yang diambil adalah riwayat yang menyatakan sebab turunnya secara tegas.
b.      Apabila beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama shahih, tetapi hanya satu riwayat  yang menceritakan secara langsung oleh pelaku peristiwa atau melihat secara langsung, maka hadits demikian adalah hadits yang paling kuat dan dipilih sebagai hadits yang paling rajih
c.       Apabila beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama shahih, tetapi ada salah satu riwayat yang diperkuat oleh dalil, maka riwayat yang demikian dittetapkan sebagai riwayat yang lebih kuat.
d.      Apabila beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama shahih dan sama-sama tidak didukung oleh dalil, akan tetapi isinya dapat dikompromikan, maka semua riwayat diambil dan dikompromikan isinya
        Berdasarkan hal tersebut, maka seorang peneliti Al-Quran perlu memperhatikan berbagai isi, keadaan dan kualitas dari hadits yang meriwayatkan sebab turunnya sebuah atau beberapa ayat.
2.Teori Asbabun Nuzul Modern
        Dalam perkembangannya, analisis asbabunnuzul ini dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan pemaknaan terhadap semua ayat Al-Quran karena tidak semua ayat mempunyai latar belakang  turunnya secara langsung. Menurut Arkoun, Studi kontemporer memerlukan suatu analisis teoritis yang lebih luas dengan menggunakan beberapa pendekatan teoritikal berikut[11]:
a.Analisis-analisis  Sosiokritis
      b.Analisis-analisis Psikokritis
      c.Eksplorasi Diakronis
      d.Perspektif-perspektif Antropologis
        Sekalipun dimungkinkan menggunakan berbagai perspektif keilmuan modern dalam bidang ilmu budaya dan sosial untuk memberikan penafsiran terhadap Al-Quran, dalam menggunakan temuan-temuan sejarah sebagai alat bantu dalam memberikan penafsiran terhadap reaksi atau wacana Al-Quran perlu berhati-hati.
        Seorang pembaca sejarah klasik maupun modern , perlu melakukan pembacaan kejadian dan perkembangan bangsa Arab secara  kritis. Di samping kita perlu sejarah dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Quran, kita juga perlu membandingkan informasi sejarah dengan Al-Quran, selama kejadian tersebut semasa dengan turunnya Al-Quran.  
D.Pandangan Umum Orientalis tentang Al-Qur’an
       Dalam sejarah Islam pernah mengalami masa kejayaan dalam pengetahuan islam, namun sejak runtuhnya Baghdad, sebuah kota yang menjadi salah satu pusat peradaban islam yang sangat penting pada masa Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M, pendidikan islam dan seluruh kekayaan intelektualitas Islam pada umumnya mengalami kemunduran.Seluruh lembaga pendidikan telah lumpuh total, kebebasan berfikir sulit ditemukan dalam literatur islam. Hanya beberapa ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan seperti Ibn Taimiyah (1261-1328 M). Oleh karena itu, pengetahuan Barat berkembang dan pengetahuan islam mengalami kemunduran.
        Studi Al-Qur’an di Barat untuk pertama kalinya dilakukan oleh kelompok kajian orientalisme. Secara historis, studi Al-Qur’an di kalngan kelompok ini dimulai sejak kunjungan Peter, Biarawan Cluny ke Teledo abad ke-12. Perhatiannya terhadap islam yang sangat besar membawanya berkeinginan untuk membntuk tim yang bertugas mengahsilkan karya yang scara bersama-sama akan dijadikan landasan kajian akademik keislaman. Robertus Retenesis dari Ketton, bagian dari anggota tim tersebut, berhasil menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin pada Juli 1143. Buku ini dan beberapa karya pelengkap lainnya diterbitkan di Bale pada tahun 1543 oleh Bibliander[12].
      Pada abad ke-19 kajian alquran di barat mengalami kemajuan yang pesat,di mulai dari edisi teks gustav figel pada tahun 1834 yang beberapa di antaranya direvisi oleh Gustav Redslob pada 1844 Gustav Weil menulis sebuah karya yang monumental dengan judul Historische-Kritische Einleitung in den Koran.
        Langkah ini mendorong The Parisian Academi Des Inscriptions et Belles-Lettres untuk melakukan tema berhadiah di bawah topik A Critical history of  the text of  the Coranpada tahun 1857,yang kemudian dimenangkan oleh seorang  Jerman muda bernama Teodore Noldeke. Karya cendikiawan muda ini diterbitkan di G’ttingen pada tahun 1860 sebagai Geschichte des Qorans, dan kemudian menjadi dasar bagi kajian Al-Quran.
       Secara umum, orientalisme Barat klasik, khususnya islamologinya, dalam mempelajari islam memang sering bertolak dari prasangka kaku dan negatif. Di samping itu Islamologi Barat klasik hanya mendekati islam melalui karya tulis pemikir islam terkenal. Untuk itu, Islamologi klasik cenderung mengabaikan ungkapan –ungkapan lisan tak tertulis dan karya tulis yang dianggap tidak representatif. Karena sikap yang demikian dan karena dangkalnya sudut pandang  teoritis, Islamologi klasik dapat dianggap terbelakang dibandingkan dengan cabang ilmu pengetahuan barat lainnya. Satu kelemahan lain dari Islamologi Barat klasik adalah bahwa para ahlinya secara prinsip berada di luar objek penelitiannya dan menolak bertanggung jawab secara intelektual atas pokok bahasan mereka.
      Kelemahan ini masih tampk jelas pada kajian keislaman abad ke-20 khususnya yang berhubungan dengan Al-Qur’an hal ini setidaknya dapat di lihat dalam pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah karya sastra Nabi yng cenderung mengadaptasi kitab-kitab sebelumnya. Pandangan seperti ini  dalam Quranic Studies Source and Methods of Scriptual Interpretatiaon karya John Wansbrough yang diterbitkan Oxford University Press pada tahun 1977.
         Menurut M.F. Zenrif dalam buku beliau Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa ada dua permasalahan besar yang dihadapi oleh Orientalis dalam mengkaji Al-Qur’an yaitu[13]:
-Masalah Kebenaran Al-Qur’an sebagai Wahyu
        Dalam menghadapi permasalahan ini para orientalis cenderung melihat kebenaran Al-Quran dalam sistem pemikiran yang luas, yakni melihat kebenaran berdasarkan atas fungsi dan manfaat dalam tatanan moral dan sosial. Untuk itu, tidak ada kebenaran salah satu agama yang lebih unggul dari lainnya selama ajaran agama tersebut membawa pada tujuan agama tersebut.
-Masalah Sumber
       Para orientalis mencoba mengkritisi Al-Qur’an melalui sosio-historis dan sosio-antropologis. Pendekatan sosio-historis dalam pengkajian Al-Qur’an di Barat bersumber dari historisme yang beranggapan bahwa masa lampau harus diteliti dengan berpangkal dari msa itu sendiri, bukan dari masa kini atau suatu bagian luar. Pendekatan sosio-historis ini sering dipergunakann oleh orientalis untuk menunjukkan berbagai kejadian aneh yang berkaita  dengan teks dan bahasa Al-Qur’an, serta bagaimana Al-Qur’an diturunkan, divukukan, disatukan dalam satu mushaf Ustmani.
      Pendekatan sosio-antropologis dalam kajian Al-Qur’an ditekankan pada kajian teks Al-Qur’an sebagai realitas kebahasaan yang tidak bisa terlepas dari kungkungan budayanya. Dalam hali ini para orientalis mencoba mencari kelemahan-kelemahan Al-Qur’an dari segi susunan bahasa, kronologi cerita dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, yang dalam hal ini kajian terhadap teks Al-Quran sama dengan kajianteks selain teks suci.
       Sekalipun kajian-kajian terhadap Al-Qur’an yaang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta semiotis yang dilakukan para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan keilmuan Al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan orientalis telah membangkitkan kembali khazanah pemikiran islam[14].





BAB III
PENUTUP
         Khazanah Ulumul Qur’an dengan segala perangkat dan ilmu lainnya yang berhubungan dengan ulumul Qur’an telah terbukti melahirkan berbagai macam khazanah tafsir. Hal ini menunjukkan kekomprehensifan ulumul Qur’an dalam membantu para ulama tafsir untuk membedah luasnya samudra ilmu Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
         Sebagai contoh pendekatan yang digunakan dalam studi islam yaitu dengan metode hermeneutika yaitu suatu ilmu dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik objektif (gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Sehingga hermeneutika tidak hanya menjelaskan kata demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai penerjemah yang membuat kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna sehingga memunculakn beberapa penjelasan atau hal-hal lain sebagai tambahan.
          Dan perkembangan isu-isu kontemporer tentang ulumul Quran misalnya tentang kesetaraan gender dalam perspektif feminisme Islam. Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh  tidak menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah menciptakan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gendermerupakan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan tidak sama.
             
          Contoh lainnya kontribusi para ilmuan Barat dalam studi Al-Quran. Sekalipun dimungkinkan menggunakan berbagai perspektif keilmuan modern dalam bidang ilmu budaya dan sosial untuk memberikan penafsiran terhadap Al-Quran, dalam menggunakan temuan-temuan sejarah sebagai alat bantu dalam memberikan penafsiran terhadap reaksi atau wacana Al-Quran perlu berhati-hati.
          Sekalipun kajian-kajian terhadap Al-Qur’an yaang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta semiotis yang dilakukan para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan keilmuan Al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan orientalis telah membangkitkan kembali khazanah pemikiran islam.







DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Zulkarnaini.2007.Yahudi dalam Al-Qur’an.Depok: ElSAQ Press
Baiden,Nashruddin.2005.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Esack,Farid.2007.Samudera Al-Qur’an.Yogyakarta:DIVA Press
Ghazali, Muqsith.dkk.2009.Metodologi Studi Al-Qur’an.Jakarta:Gramedia Pustaka
Muhaini.2013.Pengantar Studi Islam.Banda Aceh.Yayasan PeNA Banda Aceh
Muqoyyidin, Andik Wahyun. Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013
Shihab,Quraisy.1992.Membumikan Al-Qur’an.Bandung:Mizan         
Zenrif,M.F.2008.Sintetis Paradigma Studi Al-Qur’an.Malang:UIN Malang Press



       [1] Muhaini,Pengantar Studi Islam (Banda Aceh:Yayasan PeNA Banda Aceh,2013) hal.322
       [2] Zulkarnaini Abdullah, Yahudi dalam Al-Qur’an (Depok: ElSAQ Press,2007) hal.75
        [3] Muhaini,Pengantar Studi,..hal. 336
         [4] Ibid, hal.338
             [5]Ibid, hal.343
           [6] Farid Esack, Samudera Al-Qur’an (Yogyakarta:DIVA Press ,2007), hal. 258
           [7]Nashruddin Baiden, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2005), hal.74
            [8]Ibid, hal.83
       [9] Andik Wahyun Muqoyyidin, Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013 Hal 491 - 512
                                                                                                                         

          [10] M.F. Zenrif, Sintetis Paradigma Studi Al-Qur’an  (Malang:UIN Malang Press 2008),  hal.210
       [11] Ibid, hal.216
            [12] Ibid,hal.82
           [13] Ibid, hal.87-88
           [14] Ibid, hal.89

Pengertian Hadits Tarbawi