BAB I
PENDAHULUAN
Ulumul
Qur’an atau Studi Al-Qur’an adalah ilmu yang membahas segala sesuatu yang
berkaitan dengan Al-Qur’an. Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang berlaku
sepanjang zaman dan tidak pernah habis dan selesai untuk dibahas. Inilah yang
membuktikan kemukizatan Al-Qur’an sekaligus perbedaan Al-Quran dengan
kitab-kitab lainnya. Pengkajian studi sangatlah penting bagi umat islam
khususnya dalam mengetahui berbagai hal yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Untuk
memudahkan dalam membahas misalnya pendekatan yang digunakan dalam studi islam,
perkembangan isu-isu kontemporer tentang ulumul Quran, dan kontribusi para
ilmuan Barat dalam studi Al-Quran.
Dalam studi al-quran kontemporer
pendekatan sering digunakan adalah
hermeneutika. Karena pada dasarnya hermeneutika itu berkaitan erat dengan bahasa,
yang diungkapkan baik melalui pikiran, wacana maupun tulisan. Al-Quran sendiri
tidak terlepas dari teks atau bahasa yang harus diinterpretasikan dengan kontek
sosial yang ada. Dalam pembahasan berikutnya akan dipaparkan tentang
hermeneutika serta persamaan dan perbedaannya dengan Ilmu Tafsir.
Ilmuan muslim baik klasik maupun kontemporer
telah begitu banyak menyusun kitab-kitab yang membahas menyangkut dengan
Al-Quran dengan berbagai pendekatan, metodologi dan corak pengkajian. Ternyata
studi alquran ini tidak hanya mendapat perhatian serius dari para ilmuan muslim
saja, tetapi di era modern ini, juga telah banyak bara ilmuan barat yang
mencoba melakukan studi terhadap Al-Quran. Seperti Gustav Weil dalam bukunya
Historische-Kritische Einleitung in den Koran yaitu pada tahun 1844.
Usaha-usaha yang dilakukan dari beberapa orientalis barat yang berusaha mempelajari
studi Al-Quran dan mempelajari fase-fase yang berhubungan dengan sejarah
turunnya, sedikit banyaknya telah mempengaruhi perkembangan Studi Al-Quran di
akhir-akhir ini, lebih-lebilh lagi banyaknya orang muslim yang belajar agama di Dunia Barat, yang pada
akihrnya memberikan warna tersendiri bagi perkembangan studi islam pada umumnya
dan Studi Al-Quran pada khususnya.
Begitu juga dengan ilmuan muslim yang
telah melakukan daya upaya dan potensi yang
ada agar dapat menginterpretasikan makana Al-Qur’an secara aktual dan
kekinian, sehingga melahirkan sejumlah metode-metode dan pendekatan-pendekatan
yang baru, seperti Fazlur Rahman dan lain sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN
ISU-ISU KONTEMPORER TENTANG ULUMUL QUR’AN
A.Hermeneutika
1.Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis kata hermeneutika
beresal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti
menginterprestasikan, menjelaskan, menerjemahkan atau menafsirkan. Secara lebih
khusus istilah ini diambil dari nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang
dianggap sebagai anak dari Dewa Zeus. Yang dianggap sebagai nabi atau penjelas
terhadap mitologi Yunani yang menerjemahkan pesan-pesan ke dalam bahsa yang
dimengerti manusia yang menyampaikan pesan dari (Dewa Zeus) Tuhan[1].
Secara terminologi hermeneutika adalah ilmu dan teori tentang
penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik
objektif (gramatikal kata-kata dan variasi-variasi historisnya) maupun
subjektif (maksud pengarang). Sehingga hermeneutika tidak hanya menjelaskan
kata demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai penerjemah yang membuat
kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna sehingga
memunculakn beberapa penjelasan atau hal-hal lain sebagai tambahan.
Hermeneutika mengupayakan untuk memperoleh pemahaman yang benar, apa yang
ditulis dalam teks dan dapat ditangkap oleh pembaca apa yang dimaksud oleh
pengarangnya.
Hermeneutika
tidak hanya memandang teks dan berusaha menjelaskan makna kandungan literalnya.
Lebih dari itu hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan
horison-horison yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah
horison teks, pengarang dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison
tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan
rekontruksi dan reproduksi makna teks[2].
dan melacak bagaimana satu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan
apa yang dimasukkan dan diinginkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha
melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi kondisi saat teks
tersebut dibaca dan dipahami.
Konsep yang dibangun hemeneutika ini
memang cukup menarik karena hermenetika ini berusaha untuk mengetahi makna yang
terdalam dari suatu teks dan berusaha menjembatani penulis, teks dan pembaca
sehingga akan terjadi kesinkronan antara teks dan kontes yang akhirnya akan
memunculakan konstekstualitas[3].Tiga
unsur hermeneutika adalah pertama teks adalah subjek, maksudnya adalah bahwa
benar jika kita berhdapan kepada teks dimana di dalamnya termuat data-data
filosof, dalam sebuah analisa tidak hanya semata-mata kumpulan filosofis
melainkan sebuah subjek sejarah. Kedua dimensi bahasa, ketiga dimensi
spritualitas. Bahwa pembacaan, pemahaman dan penafsiran tersebut merupakan
bentuk hermeneutika.
Apakah Tafsir Klasik menafsirkan
Al-Quran disebut kegiatan hermeneutika? Sekalipun tidak persis sama, tapi
dengan ukuran tiga unsur utama hermeneutika , tafsir Al-Qur’an dapat
dikategorikan sebagai kegiatan hermeneutika. Pertama dari segi adanya
pesan, berita yang seringkali berbentuk teks, tafsir Al-Quran jelas menafsirkan
teks-teks yang terdapat di dalam kitab suci Al-Quran.
Kedua, harus ada kelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa asing
terhadap pesan itu. Pesan-pesan Al-Quran itu harus dijelaskan sedemikian rupa
sehingga dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan mereka. Ketiga
adanya pengantara yang paling dekat dengan kedua belah pihak. Untuk unsur
ketiga ini yang paling dekat dengan sumber yaitu Allah SWT adalah Nabi Muhammad
SAW khulafaurrasyidin dan para sahabat sebagai rujukan utama dalam menafsirkan
pesan-pesan Allah dinamakan dengan
tafsir bil ma’tsur. Sistem sanad diperlukan untuk menjaga otentitas dan
validitas penjelasan Nabi tentang maksud Allah. Sedangkan masAlah kedekatan
para mufassir dengan pembaca, tentu saja hal ini tercapai pada saat penafsiran
itu disampaikan kepada umat yang hidup pada zamannya.
Semakin jauh pembaca tafsir dari mufasir
semakin jauh pula jarak antar keduanya. Sehingga dalam kurun-kurun waktu
kemudian sebagian dari penafsiran itu menjadi tidak relevan atau malah sudah
kadaluarsa. Disinalah diperlukan penafsiran. Tapi tentu saja untuk hal-hal yang
bersifat statis, subtantif dan universal penjelasan klasik tidak perlu ada
perubahan mungkin sudah relevan, yang terasa kadaluarsa hanyalah aspek
historisitas dari hal-hal yang bersifat subtantif tersebut. Misalnya ilustrasi
yang diberikan oleh mufassir adalah mistqala habbatim min khardalin fa takun
fi sakhratin( seberat biji sawi dan berda dalam batu) mungkin kata biji
sawi dulu itu adalah yang peling terkecil sebelum ditemukan atom yang tidak
bisa dipecahkan lagi[4].
Dari segi teks yang ditafsirkan, seluruh
mufassir klasik tanpa kecuali meyakini bahwa teks suci Al-Quran berbeda dengan
teks-teks lainnya, termasuk teks hadits Nabi Muhammad SAW. Teks suci Al-Quran sepenuhnya berasal dari Allah SWT yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril. Tidak ada intervensi
manusia sedikit pun dalam pemilihan kata, penyusunan kalimat, apalagi dalam
menentrukan isi atau pesannya. Keterlibatan manusia, hanyalah rasululah dan
para sahabat dalam menghimpun dan menjaga ontentitas. Oleh karena itu teks-teks
suci Al-Quran semuanya otentik dan valid. Sedangkan penulisannya disepakati
adalah sistem penulisan ustmani ( rasam ustmani) yang menjadi acuannya. Pesan
Allah disampaikan dengan menggunakan bahasa arab. Tentu saja sebuah bahasa tidak terlepas dari
latar belakang sosial budaya tempat, waktu dan pengguna bahasa tersebut . Selain
pendekatan bahasa para mufassir juga melacak asbabunnuzul suatu ayat atau latar
belakang turunnya sebuah ayat.
Pendekatan
hermeneutika barulah nanti dapat ditemukan pada beberapa penafsiran
kontemporer, paling kurang dalam metodologi yang ditemukan, seperti yang
dikatakan Fazlurrahman dengan pendekatan historisnya dimana yang diperhatikan oleh mufassir
tidaklah konteks sosial tatkal ayat tersebut diturunkan, tetapi juga perlu
dihubungkan dengan konteks sosial kekinian[5].
Itulah awal mula kemunculan hermeneutika
sebagai sebuah disiplin dalam studi Al-Quran sebuah kontribusi yang signifikan
terhadap disiplin ilmu ini akan ditemukan dalam masyarakat dimana umat islam
bercita-cita mencapai pengertian kontemporer terhadap perkataan Tuhan
ditengah-tengah perjuangan aktif dalaam menegakkan keadilan[6].
2.Persamaan Hermeneutika dengan Ilmu
Tafsir
-tiga
pokok unsur dalam teori hermeneutika tidak jauh berbeda dengan teori yang
dipakai para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Ketiga unsur tersebut
adalah siapa yang mengatakannya, kepada siapa ia diturunkan, ditujukan kepada
siapa.
-Ilmu tafsir juga mempunyai tujuan
yang sama dengan hermeneutik, yakni ingin menjelaskan suatu teks dengan
sebenar-benarnya[7].
3.Perbedaan Hermeneutika dengan Ilmu
Tafsir
Hermeneutika
-Berwenang menginterpretasi risalah
yang akan disampaikan.
-Tidak
ada kontrol dari dewa tentang risalah yang disampaikan apakah telah sesuai
dengan norma yang berlaku atau tidak.
-Hermeneutika
dalam proses penafsiran tidak mementingkan urutan prosedural yang akan
diterapkan.
-Teori hermeneutika sangat simple
dan umum[8].
Ilmu Tafsir
-Tidak
berwenag mengubah sedikit pun risalah yang akan disampaikan kecuali hanya
sebatas menyampaikan apa adanya dan sekedar memperjelas jikalau ada pesan yang
kurang jelas
-Selalu
berada di bawah kontrol Allah, sehingga Nabi Muhammad menyampaikan kepada
umatnya sebagaimana yang diperintahkan Allah.
-Teori ilmu tafsir langkah-langkah
prosedural dalam penafsiran Al-Qur’an sangat dibutuhkan
-Kaidah-kaidah dalam Ilmu Tafsir
semua diuji dalam pembahasan ulumul Qur’an.
B.Kesetaraan
Gender dalam Persfektif Feminisme Islam
Pengertian feminisme Islam mulai dikenal pada tahun 1990-an. Feminisme ini berkembang terutama di negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Arab, Mesir, Maroko, Malaysia,
dan Indonesia. Kekhasan feminisme Islam adalah berupaya untuk membongkar
sumber-sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan penyebab
munculnya dominasilaki-laki dalam penafsiran hadis dan al-Qur’an. Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan
normatif yang bias gender,tetapi dijadikan orientasi kehidupan beragama,
khususnya yang menyangkut relasi gender yang dikembalikan kepada semangat Islam
yang lebih menempatkan ideologi pembebasan perempuan dalam kerangka ideologi
pembebasan harkat manusia. Beberapa tokoh feminis muslim antara lain: Riffat Hassan
(Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin
(Malaysia), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar (Malaysia), serta beberapa orang
Indonesia antara lain: Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies
Marcoes-Natsir, Siti Ruhaini Dzuhayatin dan lain sebagainya.
Dengan semangat feminisme, maka
muncullah berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis yang dilakukan para intelektual muslim, yang dikenal dengan sebutan
feminis muslim. Munculnya gagasan dan kajian tersebut
sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin keberpihakan Islam
terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang terdistorsi oleh narasi-narasi
besar wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses
sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer.
Salah satu karya yang cukup jernih
membicarakan kedudukan
perempuan dalam pandangan al-Qur’an
ditulis oleh salah seorang pemikir feminis kelahiran Malaysia, Amina Wadud
Muhsin. Dia menamatkan studinya dari pendidikan
dasar hingga perguruan tinggi
di Malaysia. Dia menamatkan sarjananya
dari Universitas Antar Bangsa, masternya dari University of Michigan Amerika Serikat
tahun 1989, dan doktornya dari Harvard University tahun 1991-1993. Sekarang ia
tinggal di Amerika Serikat menjabat salah satu Guru Besar di Departemen
Filsafat dan Studi Agama pada Universitas Commenwelth di Virginia. Salah satu
tulisannya yang kemudian penulis jadikan sebagai bahan kajian terhadap
pemikiran feminismenya adalah Qur’an and Woman (1992). Amina pernah membuat geger para ulama dunia,
termasuk Syeikh Yusuf al-Qardawi, ketika ia menjadi khatib dan imam shalat
Jum’at di New York City tanggal 18 Maret 2005. Beberapa waktu lalu juga terbit
buku Amina yangberjudul Inside
the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam (2006)[9].
Dalam
bukunya Qur’an
and Woman, Amina
mengawali pembahasannya dengan mengritik penafsiran-penafsiran yang selama ini
ada mengenai perempuan dalam Islam. Ia membagi penafsiran tersebut ke dalam
tiga corak: tradisional, reaktif dan holistik. Tokoh feminis muslim berikutnya
yang tak kalah fenomenal adalah Fatima Mernissi. Dia lahir di sebuah harem di kota Fez, Maroko bagian utara pada
tahun 1940, dari keluarga kelas bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki
sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut Mernissi
penafsiran semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan
konteks historisnya. Begitu juga penafsiran hadits yang berkenaan dengan
kepemimpinan perempuan.
Dalam kajian gender berasumsi, bahwa
perbedaan gender, bahkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan
terjadi melalui proses sejarah yang panjang
dan dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial dan kultural, termasuk melalui tradisi
keagamaan. Para feminis muslim dalam
memperjuangkan kesetaraan gender lebih memfokuskan pada dua hal penting. Pertama, ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam struktur sosial masyarakat muslim
tidak berakar pada ajaran Islam , tetapi pada pemahaman
yang bias laki-laki yang selanjutnya diyakini
sebagai ajaran Islam yang baku, dan kedua, dalam rangka bertujuan
mencapai kesetaraan perlu pengkajian kembali terhadap sumber-sumber ajaran Islam yang berhubungan dengan relasi
gender dengan bertolak dari prinsip dasar ajaran, yakni keadilan
dan kesamaan derajat.
C.Analisis
Asbabun Nuzul
1.Teori Asbabun Nuzul Klasik
Analisis asbabun nuzul merupakan suatu
analisis yang memperhatikan hal ihwal kondisi, suasana, keadaan atau kejadian
diman Al-Quran diturunkan. Oleh karena itu memahami asbabun nuzul sama halnya
dengan memahami konteks diturunkannya suatu ayat. Pemahaman terhadap konteks
ini akan mempermudah para mufassir untuk memberikan implikasi pemaknaan dengan
kondisi yang sesuai dengan tempat dan saat seorang mufassir hidup[10].
Asbabun nuzul ditinjau dari aspek bentuk
kejadiannya dapat berupa peristiwa dan pertanyaaan. Analisis asbaabun nuzul ini
menurut teori ulumul Qur’an klasik lebih mengedepankan pemahaman terhadap
riwayat, sebab sumber utama dari asbabun nuzul berupa riwayat-riwayat yang
menceritakan tentang sebab turunnya suatu ayat Al-Quran. Oleh sebab itu,
kekuatan asbabun nuzul sngat bergantung pada kesahihan riwayatnya.
Selain dari kekuatan tersebut, terdapat
prolematika dalam memahami asbabun nuzul. Kesulitan tersebut sebab beberapa
riwayat asbabun nuzul ada sebab turunnya diriwayatkan berkali-kali dan
menceritakan tentang kondisi yang berbeda sedagkan ayat yang dijelaskan hanya
satu. Kemudian, ada kondisi sebaliknya dimana sebab yang diceritakan dalam
beberapa riwayat hanya satu, sedangkan ayat yang disebabkan turunnya hanya
satu.
Menghadapi keadaan yang demikian, maka
dalam rangka memahami asbabun nuul yang berbilangan riwayat dan berbeda isi
atau ayat yang diturunkanya, maka:
a.
Apabila
beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama berada pada tingkatan kualitas
sahih akan tetapi yang satu menjelaskan tentang sebab turun ayat secara tegas sedang
yang lainnya tidak, maka yang diambil adalah riwayat yang menyatakan sebab
turunnya secara tegas.
b.
Apabila
beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama shahih, tetapi hanya satu
riwayat yang menceritakan secara
langsung oleh pelaku peristiwa atau melihat secara langsung, maka hadits
demikian adalah hadits yang paling kuat dan dipilih sebagai hadits yang paling
rajih
c.
Apabila
beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama shahih, tetapi ada salah satu
riwayat yang diperkuat oleh dalil, maka riwayat yang demikian dittetapkan
sebagai riwayat yang lebih kuat.
d.
Apabila
beberapa riwayat yang berbeda tersebut sama-sama shahih dan sama-sama tidak
didukung oleh dalil, akan tetapi isinya dapat dikompromikan, maka semua riwayat
diambil dan dikompromikan isinya
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang
peneliti Al-Quran perlu memperhatikan berbagai isi, keadaan dan kualitas dari
hadits yang meriwayatkan sebab turunnya sebuah atau beberapa ayat.
2.Teori Asbabun Nuzul Modern
Dalam perkembangannya, analisis
asbabunnuzul ini dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan pemaknaan terhadap
semua ayat Al-Quran karena tidak semua ayat mempunyai latar belakang turunnya secara langsung. Menurut Arkoun,
Studi kontemporer memerlukan suatu analisis teoritis yang lebih luas dengan
menggunakan beberapa pendekatan teoritikal berikut[11]:
a.Analisis-analisis Sosiokritis
b.Analisis-analisis Psikokritis
c.Eksplorasi Diakronis
d.Perspektif-perspektif Antropologis
Sekalipun dimungkinkan menggunakan berbagai
perspektif keilmuan modern dalam bidang ilmu budaya dan sosial untuk memberikan
penafsiran terhadap Al-Quran, dalam menggunakan temuan-temuan sejarah sebagai
alat bantu dalam memberikan penafsiran terhadap reaksi atau wacana Al-Quran
perlu berhati-hati.
Seorang pembaca sejarah klasik maupun
modern , perlu melakukan pembacaan kejadian dan perkembangan bangsa Arab
secara kritis. Di samping kita perlu
sejarah dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Quran, kita juga perlu
membandingkan informasi sejarah dengan Al-Quran, selama kejadian tersebut
semasa dengan turunnya Al-Quran.
D.Pandangan
Umum Orientalis tentang Al-Qur’an
Dalam sejarah Islam pernah mengalami masa
kejayaan dalam pengetahuan islam, namun sejak runtuhnya Baghdad, sebuah kota
yang menjadi salah satu pusat peradaban islam yang sangat penting pada masa
Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258 M, pendidikan
islam dan seluruh kekayaan intelektualitas Islam pada umumnya mengalami
kemunduran.Seluruh lembaga pendidikan telah lumpuh total, kebebasan berfikir
sulit ditemukan dalam literatur islam. Hanya beberapa ulama yang memiliki
pemikiran pembaharuan seperti Ibn Taimiyah (1261-1328 M). Oleh karena itu,
pengetahuan Barat berkembang dan pengetahuan islam mengalami kemunduran.
Studi Al-Qur’an di Barat untuk pertama
kalinya dilakukan oleh kelompok kajian orientalisme. Secara historis, studi
Al-Qur’an di kalngan kelompok ini dimulai sejak kunjungan Peter, Biarawan Cluny
ke Teledo abad ke-12. Perhatiannya terhadap islam yang sangat besar membawanya
berkeinginan untuk membntuk tim yang bertugas mengahsilkan karya yang scara
bersama-sama akan dijadikan landasan kajian akademik keislaman. Robertus
Retenesis dari Ketton, bagian dari anggota tim tersebut, berhasil menerjemahkan
Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin pada Juli 1143. Buku ini dan beberapa karya
pelengkap lainnya diterbitkan di Bale pada tahun 1543 oleh Bibliander[12].
Pada abad ke-19 kajian alquran di barat
mengalami kemajuan yang pesat,di mulai dari edisi teks gustav figel pada tahun
1834 yang beberapa di antaranya direvisi oleh Gustav Redslob pada 1844 Gustav Weil
menulis sebuah karya yang monumental dengan judul Historische-Kritische Einleitung
in den Koran.
Langkah ini mendorong The Parisian
Academi Des Inscriptions et Belles-Lettres untuk melakukan tema berhadiah
di bawah topik A Critical history of the
text of the Coranpada tahun
1857,yang kemudian dimenangkan oleh seorang
Jerman muda bernama Teodore Noldeke. Karya cendikiawan muda ini diterbitkan
di G’ttingen pada tahun 1860 sebagai Geschichte des Qorans, dan kemudian
menjadi dasar bagi kajian Al-Quran.
Secara umum, orientalisme Barat klasik,
khususnya islamologinya, dalam mempelajari islam memang sering bertolak dari
prasangka kaku dan negatif. Di samping itu Islamologi Barat klasik hanya
mendekati islam melalui karya tulis pemikir islam terkenal. Untuk itu, Islamologi
klasik cenderung mengabaikan ungkapan –ungkapan lisan tak tertulis dan karya
tulis yang dianggap tidak representatif. Karena sikap yang demikian dan karena
dangkalnya sudut pandang teoritis,
Islamologi klasik dapat dianggap terbelakang dibandingkan dengan cabang ilmu
pengetahuan barat lainnya. Satu kelemahan lain dari Islamologi Barat klasik
adalah bahwa para ahlinya secara prinsip berada di luar objek penelitiannya dan
menolak bertanggung jawab secara intelektual atas pokok bahasan mereka.
Kelemahan ini masih tampk jelas pada
kajian keislaman abad ke-20 khususnya yang berhubungan dengan Al-Qur’an hal ini
setidaknya dapat di lihat dalam pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah karya sastra Nabi yng cenderung mengadaptasi kitab-kitab sebelumnya.
Pandangan seperti ini dalam Quranic
Studies Source and Methods of Scriptual Interpretatiaon karya John
Wansbrough yang diterbitkan Oxford University Press pada tahun 1977.
Menurut M.F. Zenrif dalam buku beliau
Sintesis Paradigma Studi Al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa ada dua
permasalahan besar yang dihadapi oleh Orientalis dalam mengkaji Al-Qur’an yaitu[13]:
-Masalah
Kebenaran Al-Qur’an sebagai Wahyu
Dalam menghadapi permasalahan ini para
orientalis cenderung melihat kebenaran Al-Quran dalam sistem pemikiran yang
luas, yakni melihat kebenaran berdasarkan atas fungsi dan manfaat dalam tatanan
moral dan sosial. Untuk itu, tidak ada kebenaran salah satu agama yang lebih
unggul dari lainnya selama ajaran agama tersebut membawa pada tujuan agama
tersebut.
-Masalah
Sumber
Para orientalis mencoba mengkritisi
Al-Qur’an melalui sosio-historis dan sosio-antropologis. Pendekatan
sosio-historis dalam pengkajian Al-Qur’an di Barat bersumber dari historisme
yang beranggapan bahwa masa lampau harus diteliti dengan berpangkal dari msa
itu sendiri, bukan dari masa kini atau suatu bagian luar. Pendekatan
sosio-historis ini sering dipergunakann oleh orientalis untuk menunjukkan
berbagai kejadian aneh yang berkaita
dengan teks dan bahasa Al-Qur’an, serta bagaimana Al-Qur’an diturunkan,
divukukan, disatukan dalam satu mushaf Ustmani.
Pendekatan sosio-antropologis dalam
kajian Al-Qur’an ditekankan pada kajian teks Al-Qur’an sebagai realitas
kebahasaan yang tidak bisa terlepas dari kungkungan budayanya. Dalam hali ini
para orientalis mencoba mencari kelemahan-kelemahan Al-Qur’an dari segi susunan
bahasa, kronologi cerita dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, yang dalam
hal ini kajian terhadap teks Al-Quran sama dengan kajianteks selain teks suci.
Sekalipun kajian-kajian terhadap
Al-Qur’an yaang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari
dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta semiotis yang dilakukan
para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan
keilmuan Al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan orientalis telah
membangkitkan kembali khazanah pemikiran islam[14].
BAB III
PENUTUP
Khazanah Ulumul Qur’an dengan segala
perangkat dan ilmu lainnya yang berhubungan dengan ulumul Qur’an telah terbukti
melahirkan berbagai macam khazanah tafsir. Hal ini menunjukkan kekomprehensifan
ulumul Qur’an dalam membantu para ulama tafsir untuk membedah luasnya samudra
ilmu Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh pendekatan yang
digunakan dalam studi islam yaitu dengan metode hermeneutika yaitu suatu ilmu
dan teori tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari
ciri-cirinya, baik objektif (gramatikal kata-kata dan variasi-variasi
historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Sehingga hermeneutika tidak
hanya menjelaskan kata demi kata saja, melainkan juga bertindak sebagai
penerjemah yang membuat kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan
bermakna sehingga memunculakn beberapa penjelasan atau hal-hal lain sebagai
tambahan.
Dan perkembangan isu-isu kontemporer
tentang ulumul Quran misalnya tentang kesetaraan gender dalam perspektif
feminisme Islam.
Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sejauh tidak menyebabkan ketidakadilan bagi
perempuan dan laki-laki. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan gender telah
menciptakan ketidakadilan, terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan
gendermerupakan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau
perempuan tidak sama.
Contoh lainnya kontribusi para ilmuan Barat dalam studi Al-Quran. Sekalipun
dimungkinkan menggunakan berbagai perspektif keilmuan modern dalam bidang ilmu
budaya dan sosial untuk memberikan penafsiran terhadap Al-Quran, dalam
menggunakan temuan-temuan sejarah sebagai alat bantu dalam memberikan
penafsiran terhadap reaksi atau wacana Al-Quran perlu berhati-hati.
Sekalipun kajian-kajian terhadap
Al-Qur’an yaang dilakukan orientalis mempunyai kelemahan tersebut, dari
dasar-dasar kritisisme dan analisis filologis serta semiotis yang dilakukan
para orientalis, telah membuka peluang yang sangat luas bagi pengembangan
keilmuan Al-Qur’an. Setidaknya apa yang telah dilakukan orientalis telah
membangkitkan kembali khazanah pemikiran islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Zulkarnaini.2007.Yahudi dalam Al-Qur’an.Depok: ElSAQ Press
Baiden,Nashruddin.2005.Wawasan
Baru Ilmu Tafsir.Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Esack,Farid.2007.Samudera
Al-Qur’an.Yogyakarta:DIVA Press
Ghazali,
Muqsith.dkk.2009.Metodologi Studi Al-Qur’an.Jakarta:Gramedia Pustaka
Muhaini.2013.Pengantar
Studi Islam.Banda Aceh.Yayasan PeNA Banda Aceh
Muqoyyidin,
Andik Wahyun. Wacana Kesetaraan Gender: Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Gerakan Feminisme Islam, Jurnal Al-Ulum, Volume. 13 Nomor 2, Desember 2013
Shihab,Quraisy.1992.Membumikan
Al-Qur’an.Bandung:Mizan
Zenrif,M.F.2008.Sintetis
Paradigma Studi Al-Qur’an.Malang:UIN Malang Press