Israiliyyat dalam Tafsir
A.Pendahuluan
Pada masa Rasullullah hidup, para
sahabat manakala menemukan kesulitan dalam memahami suatu ayat di dalam
Al-Qur’an mereka langsung bertanya kepada Rasul. Kemudian Rasul menjawabnya dan
memberikan penjelasan terhadap makna kandungan ayat tersebut. Penafsiran
Al-Qur’an pada masa Rasul adalah penjelasan secara langsung oleh beliau
sendiri, karena orang yang memahami Al-Quran adalah Rasullullah. Keadaan ini
berlangsung sampai Rasul wafat.
Ketika Rasul wafat, para sahabat banyak
menemukan kesulitan dalam memahami suatu ayat. Sumber penafsiran pada masa
sahabat yaitu mereka menggunakan Al-Qur’an, Hadits Rasul, mereka juga
menanyakan kepada sahabat yang terlibat langsung serta yang memahami ayat
tersebut. Apabila hal tersebut tidak ditemukan, mereka melakukan ijtihad yaitu
yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kapasitas intelektual dan juga
harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sedangkan sumber penafsiran pada masa
tabi’in adalah dengan menggunakan Al-Qur’an, Hadits Rasul yaitu apa yang
diriwayatkan Sahabat dari Rasullulah, dari apa yang diriwayatkan sahabat dari
tafsir mereka dan melakukan ijtihad yang berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Dan
juga mengambil dari Ahli kitab yang berdasarkan kitab mereka. Selain mereka
bertanya kepada sahabat, mereka juga menanyakan beberapa masalah, seperti
kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an dan kisah-kisah umat terdahulu
kepada tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah memeluk islam yaitu orang Yahudi dan
Nasrani. Hal inilah yang kemudian menjadi awal lahirnya Israiliyat.
Dalam pembahasan selanjutnya akan
dijelaskan tentang pengertian israiliyat, bagaimana proses masuk dan
berkembangnya israiliyat dalam tafsir, tokoh-tokoh israiliyat, macam-macam
israiliyat beserta contohnya dan pandangan ulama terhadap israiliyat dalam
penafsiran suatu ayat Al-Qur’an.
B.Pengertian
Israiliyyat
Secara
bahasa kata Israiliyat merupakan kata jamak. Mufratnya diambil
dari kata israiliyah, yang dinisbahkan kepada Bani Israil (keturunan
Israil). Kata Israiliyah merupakan bentuk kata yang dinisbahkan kepada
kata Israil yang berasal dari kata Ibrani, Isra yang berarti hamba dan Il
berarti Tuhan/Allah. Bani israil adalah keturunan dari Nabi Ya’qub a.s. yang
berkembang hingga Nabi Musa a.s. dan seterusnya nabi yang datang silih berganti
sehinggalah keturunan yang terakhir yaitu Nabi Isa a.s. Keturunan Nabi Ya’kub
atau Bani Israil sejak beberapa zaman lalu disebut dengan nama Yahudi[1].
Keturunan pada masa Nabi Isa a.s.
disebut dengan nama Nasrani. Istilah lain yang dipakai dalam Al-Quran untuk
umat Yahudi dan Nasrani adalah Ahl Kitab.
Secara Istilah para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikan Israiliyat. Menurut Syeikh Muhammad Husein
Az-zahabi adalah makna lahiriyah dari Israiliyat adalah pengaruh kebudayaan Yahudi
dan Nasrani terhadap penafsiran Al-Qur’an. Kisah yang dimasukkan dalam tafsir
yang periwayatannya kepada sumber Yahudi dan Nasrani[2].
Menurut Amin Al-Khuli Israiliyat adalah informasi-informasi yang berasal dari
ahli kitab yang menjelaskan nash-nash Al-Qur’an. Sedangkan Menurut Sayyid Ahmad
Khalil mendefinisikan Israiliyat adalah riwayat-riwayat yang berasal dari ahli
kitab baik yang berhubungan dengan agama mereka maupun yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengannya. Penisbahan riwayat Israiliyat kepada
Yahudi karena para perawinya berasal
dari kalangan mereka yang sudah masuk islam.
Orang-orang Yahudi kitab mereka yaitu kitab
Taurat sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah:44 yaitu:
إِنَّا
أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ
Artinya: “Sungguh, Kami yang
menurunkan Kitab Taurat, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya”... (Q.S. Al-Maidah:44)
Dan
di dalam ayat berikutnya dijelskan hukum yang terdapat di dalam kitab Taurat:
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ
بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ
Artinya:”Kami telah menetapkan bagi
mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa dibalasdengan nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka
pun ada qisasnya (balasan yang sama)”... (Q.S.Al-Maidah:45)
Kaum yahudi bukan hanya kitab taurat,
akan tetapi ada nash-nash dan teks-teks lainnya yang tidak ditulis yang
terdapat pada masa Nabi Musa akan tetapi melalui musyafahah (lisan),
sehingga didapatilah kisah-kisah, sejarah-sejarah, tasyri’,cerita-cerita
dan lain sebagainya[3].
Sedangkan Kaum Nasrani kitabnya adalah kitab Injil,
sebagaimana Firman Allah:
ثُمَّ قَفَّيْنَا
عَلَى آثَارِهِم بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنجِيلَ
Artinya:”Kemudian kami susulkan
rasul-rasul kami mengikuti jejak mereka dan kami susulkan (pula) Isa Putra
Maryam. Dan kami berikan berikan Injil kepadanya”..(Q.S.Al-Hadid:27)
Kitab Taurat adalah kitab atau
sumber pertama bagi kaum Yahudi, sedangkan Injil adalah kitabnya kaum Nasrani.
Apabila kita perhatikan dalam kitab Taurat dan Injil maka akan kita dapati
bahwa banyak juga mencakup di dalam Al-Quran, khususnya yaitu kisah-kisah para
Nabi dan umat-umat terdahulu[4]. Perbedaannya terletak
pada secara umum dan terperinci. Maka Al-Quran apabila ingin mengisahkan salah
satu dari kisah para Nabi misalnya, maka menceritakannya dari segi lain yang
tidak sama dengan kitab Taurat dan injil. Di dalam Al-Quran tidak disebutkan
secara mendetail permasalahan kisahnya dan tidak disebutkan waktu kejadian sejarahnya
dan tidak pula disebutkan orangnya (pelaku) karena Faedah kisah-kisah dalam
al-Quran adalah untuk mengambil ibrah (pelajaran). Sebagaimana Firman
Allah Q.S.Yusuf:111 yaitu:
لَقَدْ
كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُوْلِي الأَلْبَابِ مَا كَانَ حَدِيثاً يُفْتَرَى
وَلَـكِن تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً
لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Artinya:
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan
(sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
C.Sejarah
timbulnya Israiliyat dalam Tafsir
Orang-orang
Arab telah berinteraksi dengan orang Yahudi jauh sebelum Rasulullah datang
membawa ajaran Islam. Orang-orang Arab adakalanya menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan alam semesta,
rahasia-rahasia yang terkandung dalam pencipataan alam, sejarah masa lalu,
tokoh-tokoh terdahulu atau suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu kepada
orang Yahudi karena mereka memiliki pengetahuan dari kitab Taurat atau
kitab-kitab sebelumnya[5].
Orang-orang
Yahudi yang menerima ajaran islam yaitu yang telah memeluk agama islam seperti
Abdullah bin Salam dan Ka’ab al-Ahbar masuk islam pada masa pemerintahan
khalifah Umar bin Khattab. Para sahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas
pernah bertanya kepada orang-orang Yahudi tersebut tentang beberapa peristiwa
masa lalu, akan tetapi tidak berhubungan dengan aqidah. Rasulullah sendiri
dalam menyikapi berita dari kalangan sahabat yang dulunya Ahl Kitab sangatlah
bijaksana. Beliau tidak menyatakan bahwa segala sesuatu yang bersumber dari
orang Yahudi pasti salah dan demikian juga tidak langsung membenarkannya.
Beliau mengingatkan untuk berhati-hati dalam menerimanya. Sebagaimana sabda
Nabi:
لا تُصَدِّقوا أهل
الكتاب ولا تُكَذِّبوهم"، وقولوا آمنا بالله وما أُنِزلَ إلينا...
“Janganlah
kamu membenarkan (keterangan) Ahl Kitab
dan jangan pula mendustakannya. Tetapi katakanlah ‘ Kami beriman kepada Allah
dan kepada apa yang diturunkan kepada kami...”(HR.Bukhari)
Dan di dalam hadits lain Nabi
memperingatkan para penyampai berita atau kisah-kisah itu agar tidak menyimpang
dalam menceritakannya.
بلغوا عني ولو اية و حد ثوا عن بني اسرائيل ولا
حرج و من كذب علي فليتبوا مقعده من النار
“Sampaikanlah
dariku walaupun hanya satu ayat. Dan ceritakanlah dari Bani Israil karena yang
demikian itu tidak dilarang. Tetapi barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di tempatnya di neraka[6].”
Ketika
Ahli kitab masuk Islam, mereka membawa pula pengetahuan keagaamaan mereka
berupa cerita-cerita dan kisah-kisah keagaamaan
Saat mereka membaca kisah-kisah
dalam Al-Quran terkadang mereka paparkan
rincian kisah tersebut yang terdapat dalam kitab-kitab mereka. Ketika mereka
membaca ayat Al-Quran dan ketika ayat Al-Quran itu menyinggung kisah yang sama,
mereka pun memberikan komentar berdasarkan apa yang pernah mereka baca dari
kitab-kitab mereka sebelumnya[7].
Pada masa Tabi’in, periwayatan israiliyat
semakin banyak disebabkan kecenderungan orang-orang pada masa itu yang ingin
mengetahui segala sesuatu tentang umat-umat terdahulu dan semakin banyaknya
ahli kitab yang memeluk agama islam, sehingga pengaruh israiliyat sangat besar
dalam penafsiran Al-Quran. Para mufassir klasik banyak memuat kisah-kisah
israiliyat dalam kitab tafsirnya, seperti kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi
Tafsiril Qur’an karya Ibnu Jarir Ath-Thabari dan kitab tafsir lainnya.
Tokoh-Tokoh Periwayat Israiliyat
yaitu:
1.
Abdullah
bin Salam nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam bin Harist
Al-Israil Al-Anshari beliau mempunyai ilmu pengetahuan yang paling alim
dikalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk islam maupun sesudah masuk
islam. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepada
beliau diantaranya Tafsir Ath-Thabari.
2.
Ka’ab
Al-Akhbar nama lengkap beliau adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani Al-Hindiari.
Beliau berasal dari Yahudi Yaman dari keluarga Ziraim.
3.
Wahab
bin Munabbih nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij
Zinas Al-Yamani Ash-Sha’ni lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia
yang migrasi ke negeri Yaman dan meninggal pada tahun 110 H.
4.
Abdul
Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Beliau adalah orang Nasrani, orang pengarang
pertama kitab di Hijaz. Beliau adalah tokoh israiliyat pada masa tabi’in.
Apabila kita melihat dalam kitab Tafsir Ath-Thabari, yaitu ayat-ayat tentang
Nasrani, maka riwayat israiliyat tersebut banyak diriwayatkan oleh Ibnu Juraij[8].
Para ulama berbeda pendapat dalam mengakui
dan mempercayai Ahli Kitab tersebut, ada yang menolak dan ada yang menerimanya.
Perbedaan pendapat paling besar adalah mengenai Ka’ab Al-Akhbar. Sedangkan
Abdullah bin Salam adalah orang yang pandai dan paling tinggi kedudukannya.
Karena itu Bukhari dan Ahli hadits lainnya memegangi dan mempercayainya. Di
samping itu kepadanya tidak dituduhkan hal-hal yang bersifat buruk seperti yang
dituduhkan pada Ka’ab Al-Akhbar dan Wahab ibn Munabbih[9].
D.Macam-macam
israiliyat beserta contohnya
Macam-macam israiliyat berdasarkan kebenaran dan tidaknya terbagi
menjadi dua yaitu:
-Contoh
cerita israiliyat yang benar (shahih),
yaitu seperti cerita israiliyat yang membenarkan apa yang ada di dalam
Al-Qur’an mengenai sifat-sifat Rasullullah. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِداً
وَمُبَشِّراً وَنَذِيراً -٤٥- وَدَاعِياً إِلَى اللَّهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجاً مُّنِيراً
-٤٦
Artinya:Wahai Nabi! Sesungguhnya
Kami Mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi
peringatan,(45) dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan
sebagai cahaya yang menerangi.(46)
Di dalam kitab Ibnu Katsir. Imam Ahmad
meriwayatkan dari Atha’ bin Yasar bahwa ia telah bertemu dengan Abdullah bin
Amr, lalu beliau berkata kepadanya, “Beritahukan kepadaku tentang sifat nabi
SAW dalam taurat. Abdullah berkata, “baik” demi Allah beliau tersifat dalam Taurat
seperti sifatnya dalam al-qur’an, “Wahai Nabi, sesungguhnya bukan sebagai orang
yang berperangai kasar dan bukan berwatak keras. Allah SWT tidak akan mencabut
nyawanya sehingga dengannya ia meluruskan agama yang bengkok dengan mengatakan,
tiada Tuhan selain Allah,dengannya ia membuka
hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mati (hati) yang buta[10].
Atha’ berkata “Saya telah bertemu Wahab
bin Munabbah lalu saya menanyainya tentang hal itu, maka tidaklah menyalahi satu huruf pun dalam menyifati nabi
sebagaimana dalam Taurat dan Al-Qur’an.
-Contoh israiliyat yang palsu,
seperti legenda gunung “Qof” yang mengitari langit dan bumi.
Menurut Muhammad Husein
Adz-Dzahabi, macam-macam cerita israiliyat itu terbagi menjadi tiga yaitu:
-cerita israiliyat yang shahih, itu
boleh diterima. Seperti nama guru Nabi Musa a.s yaitu Nabi Khaidir
- israiliyat yang dusta yang kita
ketahui kedustaannya karena bertentangan dengan syari’at, itu ditolak, tidak
boleh diterima[11].
-israiliyat yang tidak diketahui
kebenaran dan kepalsuannya, itu didiamkan, tidak didustakan dan juga tidak
dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya. Sebagaimana
Sabda Nabi:
لا تُصَدِّقوا أهل
الكتاب ولا تُكَذِّبوهم"، وقولوا آمنا بالله وما أُنِزلَ إلينا...
“Janganlah
kamu membenarkan (keterangan) Ahl Kitab
dan jangan pula mendustakannya. Tetapi katakanlah ‘ Kami beriman kepada Allah
dan kepada apa yang diturunkan kepada kami...”(HR.Bukhari)
Seperti nama-nama ashabul kahfi, warna
anjing mereka, tongkat nabi Musa dari pohon apa, nama burung yang dihidupkan
Allah kepada Nabi Ibrahim, nama sapi yang dipukul oleh Bani Israil dan lain
sebagainya[12].
E.Pendapat
Ulama tentang Israiliyat dalam Tafsir
Para ulama tidak menetapkan hukum secara
mutlaq terhadap israiliyat dalam tafsir, boleh mengambil riwayat israiliyat
asal tidak berhubungan dengan aqidah. Hal ini di sebabkan adanya dalil yang
membolehkan untuk mengambil dari ahli kitab dan ada juga hadis rasulullah yang melarang
hal tersebut. Menyikapi kedua hal tersebut para ulama berpendapat bahwa yang
dimaksud Rasulullah untuk mengambil riwayat dari Ahli Kitab sesungguhnya tidaklah
mutlak namun terikat hanya pada riwayat yang baik dan cerita yang tidak jelas
status benar atau dustanya. Kisah israiliyat telah tersebar di sebagian kitab
tafsir maka diperlukan sikap kehati-hatian bagi siapa saja yang mendapati
berita-berita yang bernuansa israiliyyat,yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah
dalam periwayatan israiliyat sebagai berikut:
1.
Melakukan
penelitian terhadap rawi-rawi sanadnya.
2.
Melakukan
pengamatan terhadap matan atau kandungan riwayat tersebut.
3.
Merujuk
kepada para ulama yang mendalami persoalan ini .
F.Penutup
Al-Qur’an dalam menceritakan
kisah-kisah umat terdahulu tidak bersifat rinci dan mendetail. Al-Qur’an tidak
menjelaskan secara runtut tentang nama tokoh-tokohnya, waktu dan tempat
kejadian atau bagian lain dari kisah tersebut. Karena tujuan kisah-kisah dalam
Al-Qur’an adalah untuk memberikan ibrah
atau pelajaran dan nilai-nilai yang bisa terwujud dari pemaparan tersebut.
Israiliyat adalah kisah-kisah yang disampaikan oleh Ahl Kitab yaitu orang
Yahudi dan Nasrani setelah mereka memeluk islam. Kisah-kisah yang mereka
sampaikan itu adalah sesuatu yang terdapat didalam kitab mereka yaitu kitab
Taurat dan Injil. Banyak kisah-kisah yang terdapat di Al-Quran memiliki
kesamaan di dalam kitab Taurat dan Injil karena Al-Quran adalah membenarkan
kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan
rahmah bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.
Israiliyat adalah riwayat yang didapat
dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yaitu berupa kisah-kisah atau ceerta-cerita
yang berkaitan dengan fakta-fakta sejarah, keadaaan umat pada masa lampau dan
hal lainnya yang pernah terjadi pada para nabi dan rasul. Israiliyat digunakan
dalam penafsiran dikarenakan ada kesamaan antara Al-Quran dengan Taurat dan
Injil dalam beebrapa masalah, khususnya yaitu mengenai kisah-kisah umat
terdahulu, dimana dalam Al-Quran dikisahkan secara singkat dan ringkas, namun
di dalam kitab-kitab sebelumnya dijelaskan secara panjang lebar. Sebagian
contoh kisah-kisah yang dijumpai dalam kitab-kitab tafsir adalah perahu Nabi
Nuh, tentang nama-nama Ashabul Kahfi beserta anjing mereka, tentang Ya’juj dan
Ma’juj, Ratu Balqis negeri Saba’, dan kisah-kisah para Nabi seperti Nabi
Sulaiman, Nabi Ayyub, Nabi Daud juga
tentang Raja Dzulqarnain, malaikat Harut dan Marut, tentang tongkat Nabi Musa
dan lain sebagainya.
Mengenai pendapat ulama tentang
israiliyat dalam tafsir, para ulama Para ulama tidak menetapkan hukum secara
mutlaq terhadap israiliyat dalam tafsir, boleh mengambil riwayat israiliyat
asal tidak berhubungan dengan aqidah. Hal ini di sebabkan adanya dalil yang
membolehkan untuk mengambil dari ahli kitab dan ada juga hadis rasulullah yang
melarang hal tersebut. Jika berita tersebut berupa kisah-kisah atau cerita
umat-umat tersebut boleh mengambil dari riwayat Ahli kitab asal tidak
berhubungan dengan aqidah. Berdasarkan Hadits Nabi, Beliau mengatakan bahwa
supaya berhati-hati dalam meriwayatkannya tidak mengatakan bahwa kisah
israiliyat pasti salah dan demikian juga tidak langsung membenarkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Zulkarnaini.2007.Yahudi dalam Al-Qur’an.Depok: ElSAQ Press
Adz-Dhahabi,Muhammas
Husein, 1976.Tafsir wal Mufassirun.Mesir: Dar al-Kutub wa Al-Hadits.Jilid I
Ali Ash-Shabuni,Muhammad.1998.Studi Ilmu
Al-Quran.Bandung:Pustaka Setia
Al-Qaththan, Manna’.1973.Mabahits fi Ulum
Al-Qur’an.Mansyurat Al-Ash Al-Hadits
, Studi Ilmu-Ilmu
AL-Qur’an.terjemah Mudzakkir AS.1996. Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa
Ash-Shiddieqiy,Hasbi.2002.Ilmu
Al-Qur’an Tafsir.Semarang:Pustaka Riski Putra
Baiden,Nashruddin.2005.Wawasan
Baru Ilmu Tafsir.Yogyakarata:Pustaka Pelajar
Ghazali,
Muqsith.dkk.2009.Metodologi Studi Al-Qur’an.Jakarta:Gramedia Pustaka
Shihab,Quraisy.1992.Membumikan
Al-Qur’an.Bandung:Mizan
Zaini,Muhammad.2005.Ulumul
Qur’an:Studi Pengantar.Banda Aceh:Yayasan PeNA
Zenrif,M.F.2008.Sintetis
Paradigma Studi Al-Qur’an.Malang:UIN Malang Press
Pelajaran yang bermanfaat.
ReplyDeletesyukran
ReplyDeleteterimakasih dan sangat bermanfaat
ReplyDeleteSyukran telah berbagi ilmu
ReplyDeleteSyukuran sangat bermanfaat !
ReplyDeleteSyukuran sangat bermanfaat !
ReplyDelete