D.Pendapat Ulama
tentang Naskh wal Mansukh
Keberadaan Al-Nasakh Wa
al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas,
menunjukkan bahwa Naskh dan Mansukh sangat penting dalam kajian
hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan
juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh
dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam.
Adapun pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:
1. Naskh secara akal bisa
terjadi dan secara sam’i telah terjadi[6].
Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar
hukum yang mereka pakai adalah :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
a. Dalam Qur’an surat
an-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ
أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا
يَعْلَمُونَ [النحل/101]
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat
ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.
b. QS. Al-Baqarah:106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
Ayat mana saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
2.Naskh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak[7].
Pendapat ini di motori oleh Abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh
mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.Sebab ia berpedoman
pada QS. Fushilat:42
لَا
يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ
حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42]
Yang tidak datang kepadanya
(Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan
dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Menurut al-Asfihani,
bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan.
Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut.,
sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi
kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang
dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena
sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan
pada suatu waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.
3.Naskh tidak mungkin terjadi baik secara akal
maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan
kaum Nasrani Naskh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu
mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa
yang telah di Firmankan-Nya.
Ulama mutaqaddim memberi
batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya
untuk ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku
sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyata
berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum
tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup
pengertian pembatasan (qayyid) bagi suatu
pengertian bebas(muthlaq). juga dapat mencakup pengertian
pengkhususan(makhasshish) terhadap suatu pengertian umum('am).
Bahkan juga
pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya
ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian
tersebut untuk mempertajam perbedaan antara naskh
dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga
pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum
yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan ketentuan
hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan
yang ditetapkan terakhir dan
menggantikan ketentuan yang mendahuluinya.
Ada beberapa perbedaan pendapat
di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat
Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah An-nasikh dan Al-mansukh. An-naasikh adalah ayat-ayat yang
menghapus, sedangkan al-Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.
Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini
ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh),
tetapi dari segi hukumnya saja, bukan redaksi atau lafal ayat. Jadi redaksi ayat masih
tetap tidak dihapus.
Sebagai
contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :
ª y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs?
“
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu
apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS
Al Baqarah : 219)
Bagi kelompok yang meyakini ada naskh mansukh dari segi hukum, ayat
ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)
Begitu
juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? wur $·7ãYã_ wÎ) ÌÎ/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan
junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit
atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah
menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)
Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini ada juga ayat-ayat
yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman
bagi pezina muhson). Di dalam surat An-Nur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu
wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan
dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)
Tetapi
dalam hadits hukuman itu masih ada, hanya saja redaksi ayat tentang rajam
ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu
dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak
dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru
muhson (pezina yang belum kawin.)
Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham
tentang adanya ayat naskh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al
Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada naskh dan
mansukh. Apalagi naskh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi
menurut beliau istilahnya bukan naskh mansukh, tetapi hanya pengecualian
atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap. Jadi (misalnya) kalau
kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij.
Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus
demikian. Itu merupakan teknik atau sistem tadrij yang dipakai Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. .
Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan
pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij
.
Sebagai
contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan
sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit
demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka
‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa
itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan.
Jadi ini obyektif: memang khomr
itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya. manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya:
merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah
diarahkan: wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan
dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Setelah itu
tahap kedua: Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu
maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, Ketika ayat ini turun orang
masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat
! Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya
dalam Surat Al Maidah ayat 90: Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu
wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan
suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi
bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.
Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai
nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi
pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam
menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan
seperti contoh masalah khomr tadi.
E.Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam Al-Qur’an
1.Berdasarkan
kejelasan dan cakupannya
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam
Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu[8]:
1.Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang
mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا
با نهم قوم لايفقهون . (الانفال : 65 )
Artinya :
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk
berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang
sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang
kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )
Dan menurut
jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat
66 dalam surat yang sama
:
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا ما
ئتين وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن
الله والله مع الصبرين . ( الانفال : 66 )
Artinya :
“ Sekarang Allah telah
meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika
ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )
2.Naskh
dhimmy, yaitu
jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan
keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu
turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat
bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 176
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين
والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين . (
البقرة : 176 )
Artinya :
“ Diwajibkan atas kamu,
apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib
kerabatnya secara ma’ruf.“
Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang
mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Artinya:tidak ada
wasiat bagi ahli waris.لا وصية لوارث
3.Nasakh kulli
yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang
sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal
mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ
مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ [البقرة/240]
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak
ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat
yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
وَالَّذِينَ
يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ
أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
4.Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup
seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh
hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad
(terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita
tanpa adanya saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an
yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam
surat yang sama.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ [النور/4]
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang
yang fasik.
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ
الصَّادِقِينَ [النور/6]
Dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
2.Berdasarkan bacaan dan hukumnya
Dilihat dari segi
bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu[9]:
1.
Penghapusan terhadap
hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat
yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah
riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول
الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :
“ Dahulu termasuk yang
diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang
diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah
rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “
2.
Penghapusan terhadap
hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan
sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي
نجوكم صدقة ذ لك خيرلكمواطهر فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم . ( المجادلة
: 12 )
Artinya:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya
kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi
M Maha Penyayang “ ( QS.Mujadilah : 12 )
Ayat ini di Naskh oleh
surat yang sama ayat 13 :
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة
واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله والله
خبيربما تعملون .
( المجادلة : 13 )
Artinya :
“ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu
memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( QS.Al-Mujadilah : 13 )
3.
Penghapusan terhadap
bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya
diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang
dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah
:
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya
:
“ Jika seorang pria tua dan
wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“
Cerita tentang ayat orang tua
berzina diataas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah
bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh
itu. Umamah mengatakan bahwa
Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :
“ Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah
mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”
3.Pembagian Nasakh berdasarkan otoritas
1.Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Bagian
ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang
mengatakan adanya naskh. Misalnya, naskh hukum iddah selama
satu tahun, telah dinaskh dengan hukum iddah selama empat
bulan 10 hari.Al-Baqarah:240
tûïÏ%©!$#ur cöq©ùuqtGã öNà6YÏB tbrâxtur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB Æù=yèsù þÎû ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ
Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di
antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak
disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka
tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Ayat tersebut telah di nasakh oleh ayat 243 surah
Al-Baqarah:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr& #Zô³tãur ( #sÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& xsù yy$oYã_ ö/ä3øn=tæ $yJÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î6yz ÇËÌÍÈ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu
dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis
'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
2.Nasakh Al-Qur’an dengan
Hadits
Nasakh Al-Qur’an dengan
Hadits terbagi menjadi dua[10]:
-Nasakh Al-Qur’an
dengan Hadits Ahad
Jumhur berpendapat hal
ini tidak boleh, sebab Al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang
hadits ahad dzanniy, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang maklum dengan yang dugaan.
-Nasakh Al-Quran dengan
Hadits Mutawatir
Hal ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu
Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Allah berfirman surah
An-Najm:3-4
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dan surah An-Nahl:44
Sedang Imam Syafi'I,
Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇÊÉÏÈ
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Sedang Hadits tidak
lebih baik atau sebanding dengan Al-Qur’an
3.Nasakh Hadits
dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama'
membolehkannya. Seperti, masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan
dengan sunnah dan didalam Al-Qur'an tidak terdapat dalil yang menunjukkkannya.
Kemudian dinaskh oleh Al-Qur'an dengan firman Allah:
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷èt ÇÊÍÍÈ
Sungguh kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi
dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Naskh yang pertama kali dalam Al-qur'an
adalah naskh tentang qiblat.
4.Nasakh Hadits
dengan Hadits
Dalam katagori seperti ini terdapat empat
bentuk. Naskh mutawatir dengan mutawatir, naskh ahad dengan ahad, naskh
mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan pada bentuk
keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits
ahad, yang tidak diperbolehkan oleh Jumhur Ulama.
F.Hikmah Nasikh wal Mansukh
1. Memelihara kepentingan hamba[11].
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat
sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat manusia
3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk
mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya
terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan[12].