Tuesday, September 17, 2019

Nasakh dan Mansukh 2

D.Pendapat Ulama tentang Naskh wal Mansukh
     Keberadaan Al-Nasakh Wa al-Mansukh sebagai mana yang telah diungkap dalam awal pembicaraan di atas, menunjukkan bahwa Naskh dan Mansukh sangat penting dalam kajian hukum Islam, sebab ia bukan hanya terkait dengan aspek hukum syara’ melainkan juga tak jarang berkaitan dengan teologi. Oleh karena itu Al-Nasakh Wa al-Mansukh dalam pandangan para ulama tentunya beraneka ragam.                                                                  
Adapun pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:
1. Naskh secara akal bisa terjadi dan secara sam’i telah terjadi[6]. Pendapat pertama ini merupakan pendapat dari kalangan Jumhur ulama’. Dasar hukum yang mereka pakai adalah :
 Bahwa perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Sehingga dengan ketidak ketergantungan Allah pada adanya tujuan dan alasan tersebut, maka adalah hak prerogative-Nya untuk menghapus ataupun tidak. Adanya Nash Qur’an dan Hadis yang membolehkan, seperti :
                                                                                                                                  
a. Dalam Qur’an surat an-Nahl : 101                                                                                    
وَإِذَا بَدَّلْنَا آَيَةً مَكَانَ آَيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ [النحل/101] 
 Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.                                                                                                                             
b. QS. Al-Baqarah:106                                                                                                          
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?                          
2.Naskh secara akal mungkin terjadi namun secara syara’ tidak[7]. Pendapat ini di motori oleh Abu Muslim al-Asfihani. Ia berpendapat Nasakh mungkin terjadi secara logika namun secara syara’ tidak.Sebab ia berpedoman pada QS. Fushilat:42                                                     
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ [فصلت/42] 
Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.             
     Menurut al-Asfihani, bertolak dari ayat di atas, Al-Qur’an tidak mungkin disentuh oleh pembatalan. Sudah tentu mayoritas ulama keberatan terhadap pandangan Al-Asfihani tersebut., sebab menurut mereka ayat di atas tidak bicara tentang pembatalan, tetapi kebatilan yang berarti lawan dari kebenaran. Menurut mereka, hukum Tuhan yang dibatalkan tidak mengandung keharusan bahwa hukum itu batil. Hal ini karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya ketika terdapat perkembangan dan kemaslahatan pada suatu  waktu, bukan berarti hukum itu menjadi tidak benar.                                                                                    
3.Naskh tidak mungkin terjadi baik secara akal maupun pandangan. Pendapat ini berasal dari kaum Nasrani. Menurut pandangan kaum Nasrani Naskh mengandung konsep al-Ba’da yang hal itu mustahil bagi Allah SWT. Dengan demikian adalah mustahil Allah menghapus apa yang telah di Firmankan-Nya.                                                                                                 
    Ulama  mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'iyang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk  ketentuan/hukumyang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama  yang  dinyata berakhirnya  masa  pemberlakuannya,  sejauh  hukum  tersebuttidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi  juga  mencakup pengertian  pembatasan (qayyid)  bagi  suatu pengertian bebas(muthlaq).  juga  dapat  mencakup  pengertian   pengkhususan(makhasshish)  terhadap  suatu pengertian umum('am). Bahkan juga  pengertian  pengecualian (istitsna).  Demikian      pula     pengertian      syarat dan sifatnya.                                                                          
    Sebaliknya   ulama  mutaakhkhir  memperciut  batasan-batasan pengertian  tersebut  untuk  mempertajam  perbedaan   antara naskh  dan  makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya,sehingga pengertian naskh  terbatas  hanya  untuk  ketentuan hukum  yang  datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya   masa   pemberlakuan   ketentuan   hukum   yang terdahulu,   sehingga   ketentuan  yang  diberlakukan  ialah ketentuan  yang   ditetapkan   terakhir   dan   menggantikan ketentuan  yang mendahuluinya.                                                                                                                   
    Ada beberapa perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai apa saja yang dinasakh dari ayat-ayat Al Qur’an, maupun ayat-ayat yang mansukh. Di dalam ilmu tafsir ada istilah An-nasikh dan Al-mansukh. An-naasikh adalah ayat-ayat yang menghapus, sedangkan al-Mansukh adalah ayat-ayat yang dihapus.                                                                             
Kelompok pendapat pertama dari kalangan ahli tafsir (jumhur ulama) meyakini ada ayat-ayat yang menghapus (naasikh) dan ada ayat-ayat yang dihapus (mansukh), tetapi dari segi hukumnya saja, bukan  redaksi atau lafal ayat.  Jadi redaksi ayat masih tetap tidak dihapus.                                                                                                                                  
Sebagai contoh pertama adalah ayat 219 Surat Al Baqarah :                                 
     ª y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ̍ôJyø9$# ÎŽÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgŠÏù ÖNøOÎ) ׎Î7Ÿ2 ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çŽt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 štRqè=t«ó¡our #sŒ$tB tbqà)ÏÿZムÈ@è% uqøÿyèø9$# 3 šÏ9ºxx. ßûÎiüt7ムª!$# ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs?
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir” (QS Al Baqarah : 219)                                                       

Bagi kelompok yang meyakini ada naskh mansukh dari segi hukum, ayat ini dinasikh atau dihapus hukumnya oleh S. Al Maidah ayat 90.                                                                  
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè?
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al Maidah : 90)                                                                                                                      
Begitu juga S. An Nisa’ ayat 43 juga di nasikh oleh ayat ini tadi.                         
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? Ÿwur $·7ãYã_ žwÎ) ̍Î/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3ƒÏ÷ƒr&ur 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. #qàÿtã #·qàÿxî
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS An Nisa’:43)                    

Sedangkan kelompok pendapat kedua dari kalangan ulama’ meyakini ada juga ayat-ayat yang dihapus dari redaksi ayatnya. Contohnya adalah ayat tentang rajam (hukuman bagi pezina muhson). Di dalam surat An-Nur tentang sangsi atau had (hukuman) bagi pezina itu Allah nyatakan AzZaaniyatu wazzaanii fajliduu kulla waahidin minhumaa mi-ata jaldah… (Pezina perempuan dan pezina laki-laki cambuklah tiap dari mereka itu seratus kali cambukan…)                                                                                                                          
Tetapi dalam hadits hukuman itu masih ada,  hanya saja redaksi ayat tentang rajam ini sudah tidak ada. Jadi sudah dihapus dengan Azzaaniyatu wazzaani fajliduu dan seterusnya. Jadi Allah menggunakan kata-kata yang umum. Jadi tidak dibedakan antara pezina muhson (yang sudah kawin) atau pezina yang ghoiru muhson (pezina yang belum kawin.)               

Kemudian kelompok pendapat ulama yang ketiga adalah menolak faham tentang adanya ayat naskh dan mansukh. Contohnya imam Abu Muslim Al Isfihani. Ia berpendapat tidak mungkin di dalam Al Qur’an ada naskh dan mansukh. Apalagi naskh mansukh yang berkaitan dengan redaksi. Jadi menurut beliau istilahnya bukan naskh mansukh, tetapi hanya pengecualian atau ketentuan lain. Sedangkan redaksinya tetap.  Jadi (misalnya) kalau kita ingin membina atau mengingatkan orang-orang yang mabuk tadi ada istilah tadrij. Jadi redaksi maupun hukumnya tidak dimansukh, tetapi tetap dan memang harus demikian. Itu merupakan teknik atau sistem tadrij yang dipakai  Al Qur’an untuk mengingatkan manusia. . Baik itu hukumnya maupun redaksinya tidak dihapus, hanya itu merupakan pengecualian atau pengkhususan …Atau itu sebenarnya merupakan suatu teknik tadrij .                          
Sebagai contoh untuk mencegah orang yang minum minuman keras tidak mungkin dihentikan sekaligus, tetapi melalui tiga tahapan tadi. Istilahnya tadrij dari sedikit demi sedikit. Pertama penyadaran dulu dengan diajak berpikir : Yas aluunaka ‘anil khomri wal maisir…Qul fiihima itsmun kabiirun wa maanaafi’u linnas wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dalam mengajak berpikir ini sudah diarahkan. Jadi ini obyektif:  memang khomr itu minuman keras ada manfaatnya, juga ada madhorotnya.  manfaatnya memanaskan badan, tetapi ada madhorotnya: merusak hati, pikiran, dan sebagainya. Dalam mengajak berpikir tersebut sudah diarahkan:    wa itsmuhumaa akbaru minnaf’I himaa… Dan dosa atau madhorotnya lebih besar dibandingkan manfaatnya.  Setelah itu tahap kedua:  Walaa taqrobushsholaata wa antum sukaaro hattaa ta’lamu maa taquuluuna…. janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,  Ketika ayat ini turun orang masih boleh minum khomr, tetapi diingatkan : jangan menjalankan sholat !  Kemudian baru tahap yang ketiga, secara tegas dinyatakan keharomannya dalam Surat Al Maidah ayat 90:  Innamal khomru wal maisiru wal anshoobu wal azlaamu rijsumin ‘amalisysyaithoon fajtanibuuhu… Jadi ini merupakan suatu teknik tadrij, sebagaimana dipahami Abu Muslim al Isfihani tadi bahwa tidak ada nasikh mansukh, apalagi redaksinya.       Kalau ada ayat yang turun dianggap sebagai nasikh, maka menurut al Isfihani itu adalah ayat yang berfungsi untuk memberi pengecualian atau pengkhususan atau sebagai teknik tadrij, yakni dalam menyelesaikan permasalahan tidak melarang sekaligus, tetapi melalui tahapan seperti contoh masalah khomr tadi.                                                                                                                                         
E.Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam Naskh dalam Al-Qur’an
1.Berdasarkan kejelasan dan cakupannya
     Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi empat macam yaitu[8]:
    1.Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perang (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir :                                                                  
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال  ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين  وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهون . (الانفال :  65    )
Artinya :                                                                                                                                 
“Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. “ ( QS.Al-Anfal : 65 )

 Dan menurut jumhur ulama’ ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama :
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا  فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا ما ئتين  وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين . ( الانفال :  66   )
Artinya :                                                                                                                          
“ Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu terdapat seribu  orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.” ( QS.Al-Anfal : 66 )            
      2.Naskh dhimmy, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2): 176                                                                                                                          
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف  حقاعلى المتقين . ( البقرة : 176   )
Artinya :                                                                                                                                   
“ Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibu bapak serta karib kerabatnya secara ma’ruf.“                                                                                                         
 Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang mempunyai arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
 Artinya:tidak ada wasiat bagi ahli waris.لا وصية لوارث
3.Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-baqarah : 240 dinusakh oleh surat Al-Baqoroh : 234
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة/240] 
 Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.               
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ [البقرة/234]
 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.                                                                                                                                   
4.Nasakh juz’i yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang bersifat muqayyad (terbatas). Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya  saksi pada surat An-Nur : 4 dihapus oleh ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah, bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ [النور/4] 
 Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.                                                                             
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ [النور/6] 
 Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.                                                                                                                                       
2.Berdasarkan bacaan dan hukumnya
   Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu[9]:
1.      Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah R.A.                                                                         
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya :                                                                                                                      
“ Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur’an) adalah sepuluh radaha’at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur’an. “

2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah ( QS.Mujadilah : 12 )                                                                    
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة  ذ لك خيرلكمواطهر  فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم . ( المجادلة :   12   )
   Artinya:                    
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi M            Maha Penyayang “ ( QS.Mujadilah : 12 )

Ayat ini di Naskh oleh surat yang sama ayat 13 :                                                              
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت  فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله  والله خبيربما تعملون .
 ( المجادلة :  13  )
Artinya :                                                                                                                    
“ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ ( QS.Al-Mujadilah : 13 )

3.      Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari ayat rajam. Mula-mula ayat  rajam ini terbilang ayat Al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah :            
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya :                                                                                       
“ Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya“

Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada mengenai ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam :                                                                                                               
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة .
Artinya :                                                                                                                   
“ Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”                                                                     

3.Pembagian Nasakh berdasarkan otoritas
1.Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
  Bagian ini disepakati kebolehannya dan telah terjadi dalam pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, naskh hukum iddah selama satu tahun, telah dinaskh dengan hukum iddah selama empat bulan 10 hari.Al-Baqarah:240
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ÷bÎ*sù z`ô_tyz Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ Îû $tB šÆù=yèsù þÎû  ÆÎgÅ¡àÿRr& `ÏB 7$rã÷è¨B 3 ª!$#ur îƒÍtã ×LìÅ6ym ÇËÍÉÈ

 Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat tersebut telah di nasakh oleh ayat 243 surah Al-Baqarah:

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ

 Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
2.Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits
Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits terbagi menjadi dua[10]:
-Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad
Jumhur berpendapat hal ini tidak boleh, sebab Al-Qur'an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanniy, bersifat dugaan, disamping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang maklum dengan yang dugaan.
-Nasakh Al-Quran dengan Hadits Mutawatir
Hal ini diperbolehkan oleh Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman surah An-Najm:3-4
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Dan surah An-Nahl:44
  Sedang Imam Syafi'I, Ahli Dhahir dan Ahmad dalam riwayat yang lain menolak  nasakh seperti ini, berdasarkan firman Allah:
$tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ

 Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Sedang Hadits tidak lebih baik atau sebanding dengan Al-Qur’an
3.Nasakh Hadits dengan Al-Qur’an
   Jumhur ulama' membolehkannya. Seperti, masalah menghadap ke Baitul Makdis yang ditetapkan dengan sunnah dan didalam Al-Qur'an tidak terdapat dalil yang menunjukkkannya. Kemudian dinaskh oleh Al-Qur'an dengan firman Allah:
ôs% 3ttR |==s)s? y7Îgô_ur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ( y7¨YuŠÏj9uqãYn=sù \'s#ö7Ï% $yg9|Êös? 4 ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ß]øŠymur $tB óOçFZä. (#q9uqsù öNä3ydqã_ãr ¼çntôÜx© 3 ¨bÎ)ur tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=÷èus9 çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB öNÎgÎn/§ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÍÍÈ

 Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Naskh yang pertama kali dalam Al-qur'an adalah naskh tentang qiblat.
4.Nasakh Hadits dengan Hadits
Dalam katagori seperti ini terdapat empat bentuk. Naskh mutawatir dengan mutawatir, naskh ahad dengan ahad, naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Al-Quran dengan hadits ahad, yang tidak diperbolehkan oleh Jumhur Ulama.
F.Hikmah Nasikh wal Mansukh
1. Memelihara kepentingan hamba[11].
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat manusia
3. Cobaaan dan ujian bagi mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan[12].

Pengertian Hadits Tarbawi