Wednesday, September 11, 2019

Saddu Dzari'ah


BAB I
PENDAHULUAN
Fiqih merupakan salah satu ilmu yang membahas tentang hukum, yaitu ilmu yang mempunyai tema pokok dengan kaidah dan prinsip tertentu. Semua perbuatan dan aktifitas yang kita lakukan diatur oleh hukum. Seperti dalam beribadah, bermuamalah, bergaul dengan sesama manusia yang lain, mempunyai aturan-aturan dan norma-norma hukum yang telah ditetapkan.
Para ulama dalam mengambil suatu hukum dengan menggunakan beberapa macam metode. Para ulam fiqih, selain mengambil hukum dari sumber hukum yaitu Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas, juga menggunakan metode-metode lainnya seperti istihsan, istishab, ‘uruf, maslahah marsalah, dzari’ah dan lain sebagainya. Alquran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas merupakan sumber hukum yang disepakati oleh para ulama. Sedangkan istihsan, istishab, ‘uruf, maslahah marsalah, dzari’ah merupakan sumber hukum yang berbeda pendapat para ulama dalam menetapkannya sebagai sumber hukum.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan menjelaskan tentang dzari’ah yang mencakup pembahasannya mengenai pengertia dzari’ah, macam-macam dzari’ah dan kehujjahan dzari’ah dalam menetapkan suatu hukum yaitu dapat atau tidak dijadikan dalil dalam menetapkan suatu hukum menurut para ulama.



BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian Dzari’ah
Secara etimologi kata dzari’ah berarti perantara yang menghubungkan kepada sesuatu. Secara terminologi ulama ushul fiqh, dzari’ah diartikan sebagai sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemafsadatan.[1]
Menurut imam al-Syatibi mendefinisikan dzari’ah dengan melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya adalah seseorang melakuan suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahan, tetapi dengan tujuan yang akab ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Dalam buku Hasbi Ash-Shidiqiey dijelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan dzari’ah adalah sesuatau yang menyampaikan kita kepada sesuatau yang dilarang yang mengandung kerusakan.[2]
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat kita pahami dzari’ah adalah suatu wasilah atau perantara yang membawa kepada hasil sesuatu yang dilarang.  Dalam hal ini, ia bukan merupakan jalan satu-satunya yang menyampaikan kepada yang dilarang itu. Seperti berzina, haram melihat aurat wanita yang tidak halal, haram tersebut dikarenakan membawa atau menyebabkan timbulnya keinginan berzina. Dalam hal tersebut, melihat aurat wanita tersebut bukanlah satu-satunya jalan yng menyebabkan terjadinya perzinaan, terdapat jalan lain atau sebab lain yang dapat terjadinya perzinaan tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, dzari’ah adalah apa yang menjadi wasilah dan jalan kepada sesuatu. Menurut Wahbah al-Zuhaili, pengertian dzari’ah tidak hanya terbatas pada penerapannya untuk sesuatu yang membawa kepada yang dilarang, tetapi meliputi pula sesuatu yang membawa kepada hal-hal yang dianjurkan. Oleh karena itu, menurutnya  dzari’ah itu masih bersifat umum dan mempunyai dua pengertian yaitu sesuatu yang dilarang karena membawa kepada mafsadatan yang disebut dengan sad al-dzari’ah. Sedangkan sesuatu yang dituntut untuk dilaksanakan karena membawa kepada kemaslahatan yang disebut dengan fath al-dzari’ah.
Dzari’ah yang menyampaikan kepada kebajikan, maka boleh dan baik mengerjakannya. Sedangkan sesuatu yang dianggap dapat  menyampaikan kepada kejahatan (kerusakan-kerusakan), maka dipandang kejahatan dan memperoleh hukuman serta keburukan. Oleh karenanya, Imam Malik berpendapat, wajib kita membuka dzari’ah yang meyampaikan kebajikan yang dinamakan fath al-dzari’ah dan wajib menyumbat dzari’ah yang meyampaikan kepada kejahatan yang disebutkan dengan sad dzari’ah.
2.Macam-Macam Dzari’ah
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkannya terbagi kepada:
1.Perbuatan itu membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras, yang menimbulkan mabuk dan mabuk itu adalah suatu kemafsadatan.
2.Perbuatan itu pada dasarnya adalah perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik dengan tujuan yang disengaja ataupun tidak. Perbuatan yang mengandung tujuan sengaja, misalnya sesorang yang menikahi seorang perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dengan tujuan agar suami pertama perempuan itu bisa menikahinya lagi (nikah tahlil). Contoh lainnya perbuatan yang dilakukan tanpa tujan sejak semula yaitu tanpa disengaja seperti mencaci-maki ibu bapak orang lain. Akibat mencaci maki orang tua lain, menyebabkan orang tuanya juga akan dicaci maki orang tersebut.
Kedua macam dzari’ah tersebut oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dibagai lagi yaitu yang kemaslahan pekerjaan itu lebih besar dari kemafsadatannya dan yang kemafsadatannya lebih besar dari kemaslahatannya.[3]
Dalam buku Hasbi Ash-Shidiqiey, macam-macam dzari’ah adalah sebagai berikut:
1. Dzari’ah yang menyampaikan kepada mafsadat seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk. Dzari’ah ini jelas dilarang dan haram.
2. Dzari’ah yang menyampaikan kepada sesuatu yang mubah, tidak dimaksudkan untuk sampai kepada yang haram, tetap biasanya membawa kepada yang haram, tetapi biasanya membawa kepada yang haram, seperti wanita yang kematian suaminya, memakai pakaian yang mencolok di masa iddah. Berhias indah sebenarnya mubah dan tidak akan terjadi hal-hal yang merusakan. Tetapi biasanya membawa kepada terjadi hal-hal yang tidak disukai, yaitu tertarik hati orang untuk meminangnya sebelum habis masa iddah.
3. Dzariah yang dibuat untuk sesutu yang mubah, tetapi terkadang-kadang meyampaikaan kepada mafsadat seperti memandang wanita yang hendak dipinag. Syara’ membenarkan kita untuk menempuh dzari’ah ini.
4. Dzari’ah yang dibuat bagi sesuatu yang mubah, dimaksudkan supaya sampai kepada mafsadat, seperti kita menikahi seorang wanita supaya dia halal kembali bagi bekas suaminya (nikah tahlil).[4]
3.Kehujjahan Dzari’ah
Mengenai kehujjahan dzari’ah, para ulama berbeda pendapat terhadap keberadaannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ yaitu:
1. Ulama Malikiyah dan Hanabilah bahwa dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan suatu hukum. Alasannya adalah sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-An’am: 108
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ
Artinya:  “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Q.S. al-An’am: 108)
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah melarang untuk memaki sesembahan kaum musyrik, karena kaum musyrik itu pun akan memaki Allah dengan makian yang sama bahkan lebih. Contoh tersebut menyebabkan akanterjadinya kejahatan atau perbuatan yang dilarang.
Alasan lainnya adalah sebagaimana hadis Rasullulah yaitu “Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang: “Wahai Rasullullah, bagimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya? Rasulullah menjawab: “Seseorang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci oleh orang lain, dan seseorang mencaci-maki ibu orang lain, maka ibunya yang akan dicaci maki orang itu” (Hadis Riwayat Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Berdasarkan hadis tersebut, menurut Ibnu Taymiyah menunjukkan bahwa sad dzariah termasuk slah satu alasan untuk menetapkan hukum syara’, karena sabda Rasullah tersebut, masih bersifat dugaan. Namun atas dasar dugaan tersebut, Rasulullah melarangnya. Dalam kasus lain Rasulullah melarang memberi pembagian harta warisan kepada anak yang membunuh orang tua oleh anak-anak yang ingin segera menadapatkan harta warisan.
2. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sad dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain.     
 Misalnya menurut Imam Syafi’i membolehkan sesorang yang karena uzur seperti sakit dan musafir untuk meninggalkan salat jumat dan menggantinya dengan salat dzuhur, akan tetapi secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam mngerjakan salat dzuhur. Agar tidak dituduh sengaja mengerjakan salat jumat.
Contoh lainnya adalaah orang yang tidak berpuasa karena uzur agar tidak makan dihadapan orang yang tidak mengetahui uzurnya, sehingga ia terhindar dari fitnah. Menurut imam Syafi’i juga seseorang anak yang membunuh tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang ia bunuh, karena bila diberi harta warian, maka anak akan berusaha membunuh ayahnya agar ia segera mendapatkan bagian warisan.
Menurut imam Hanafiyah tidak menerima pengakuan (iqrar) orang yang dalam keadaan mardh al-maut (sakit atau keadaan yang membawa seseorang kepada kematian), karena diduga bahwa pengakuannya ini akan mengakibatkan pembatalan terhadap hak yang lain dalam menerima warisan. Misalnya, orang yang mardh al-maut itu mengaku berhutang kepada orang lain yang meliputi seluruh atau sebagian hartanya. Dalam kasus ini, menurut imam Hanafiyah menduga bahwa pengakuan ini hanya akan membatalkan hak ahli waris terhadap harta tersebut.
Berdasakan contoh tersebut menyatakan bahwa ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah dapat menerima kaidah dzari’ah apabila kemafsdatan yang akan muncul tersebut dapat dipastikan akan terjadi, atau sekurang-kurangnya diduga keras akan terjadi.
3. Ulama Dhahiriyah tidak dapat menerima dzariah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Penolakan tersebut terkait dengan prinsip mereka yang hanya beramal berdasarkan dhahir nash dan tidak menerimam campur tangan logika dalam masalah.[5]
BAB III
PENUTUP
1.      Pengetian dzari’ah, secara etimologi berarti perantara yang menghubungkan kepada sesuatu. Secara terminologi ulama ushul fiqh, dzari’ah diartikan sebagai sesuatu yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemafsadatan.
2.      Menurut Ibnu Qayyim, dzari’ah adalah  apa yang menjadi wasilah dan jalan kepada sesuatu. Oleh karena itu, menurutnya dzari’ah itu masih bersifat umum dan mempunyai dua pengertian yaitu sesuatu yang dilarang karena membawa kepada mafsadatan yang disebut dengan sad al-dzari’ah. Sedangkan sesuatu yang dituntut untuk dilaksanakan karena membawa kepada kemaslahatan yang disebut dengan fath al-dzari’ah.
3.      Kehujjahan adz-dzari’ah, menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah bahwa dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan suatu hukum. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Syi’ah dapat menerima sad dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Ulama Dhahiriyah tidak dapat menerima dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’.



Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 1999.
Nyak Umar, Muchsin. Dalil-Dali Syara’



[1] Muchsin Nyak Umar, Dalil-Dali Syara’, h.103.
[2] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Ilmu Fiqih (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 195
[3] Muchsin Nyak Umar, Dalil-Dali Syara’, h. 105
[4] Hasbi Ash-Shidieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, h. 197.
[5] Muchsin Nyak Umar, Dalil-Dali Syara’, h. 106.

No comments:

Post a Comment

Pengertian Hadits Tarbawi