BAB II
PEMBAHASAN
NASKH WAL MANSUKH
A.Pengertian
Naskh wal Mansukh
1.Pengertian Naskh
Secara etimologi Naskh dapat
diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql),
mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan
pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu :
pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada
dialek orang Arab yang sering berkata نسحت
الشمس الظل Dan
kedua,(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang) نقل الشيئ الى موضعyaitu memindahkan
sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya
1. Izalah (menghilangkan), seperti dalam ayat berikut :
وما ار سلنا من قبلك من رسول ولا نبي ا لا ا اتمنى القى
الشيطن في امنيته فينسخ الله ما يلقي
الشيطن ثم يحكم الله ايته والله عليم حكيم ( الحج : 52 )
Artinya :
“Dan
kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun, melainkan apabila ia
mempunyai suatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap
keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan
Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Bijaksna.”(Qs.Al-hajj : 52)
2.
Tabdil (penggantian), seperti dalam ayat berikut :
واذا بد لنا اية مكان اية والله اعلم بما ينزل قالوا
انما انت مفةر بل اكثرهم لايعلمون . (
النحل : 101 )
Artinya :
“Dan Apabila kami letakkan suatu ayat ditempat ayat
lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang
diturunkan-Nya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang
mengada-adakan saja’. Bahkan, kebanyakan mereka tiada mengetahui.”(QS. An-Nahl:
101)
3. Tahwil (memalingkan), seperti tanasukh Al-mawarist,
artinya memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
4. Naql (memindahkan dari satu tempat
ketempat yang lain), seperti nasakhtu Al-Kitaaba, yakni mengutip atau
memindahkan isi kitab tersebut berikut lafazh dan tulisannya.
Sedangkan secara istilah Naskh dapat
didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a.
Hukum Syara’
atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya
dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
b.
Nasakh adalah
otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT.
Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
Artinya: Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami
jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya
atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
Artinya
mengangkat hukum syara’ dengan perintah رفع
الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهc.
Atau
khitab Allah yang datang kemudian dari padanya[2].
Dari definisi di atas dapat kita pahami
bahwa pada dasarnya Naskh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan
hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus
mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
2.Pengertian
mansukh
Sedangkan Mansukh
menurut bahasa ialah sesuatu yang dihapus atau dihilangkan atau dipindah atau
disalin atau dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil
syara’ yang sama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum
syara’ yang baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah
berupa ketentuan hukum syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang
baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan
dan penggantian hukum tadi.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh
Wa al-Mansukh tersebut baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya
secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal
antara lain :
a. Hukum yang di Mansukh
adalah hukum Syara’[3].
Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang
dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis
yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah)
larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum
Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh
Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
c.Dalil/ayat yang
di Mansukh harus datang setelah dalil yang dihapus
d.Terdapat
kontradiksi atau pertentangan yang nyata
antara dalil yang pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan.
B.Syarat dan
Rukun Naskh
1. Adat naskh adalah pernyataan yang menunjukkan adanya
pembatalan hukum yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang
telah ada. Pada hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang
membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan, atau
dipindahkan.
4. Mansukh’anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
2.Syarat-Syarat
Naskh
Adapun Syarat-Syarat Naskh
sebagai berikut:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakahirnya
waktu pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti di nasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung nasikh harus datang kemudian.
C.Cara Mengetahui Naskh wal Mansukh
Manna’ Al-Qaththan menetapkan tiga dasar untuk
mengetahui bahwa suatu ayat dikatakan nasikh (menghapus) ayat lain mansukh
(dihapus)[5].
Ketiga dasar adalah:
1. Melalui
pentransmisian yang jelas (An-naql Al-sharih ) dari Nabi atau para
sahabatnya, seperti “ كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا
فزوروها “
رواه الحاكم
Artinya:Aku dulu melarang
kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.
Melalui
kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh
3. Melalui
studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nasikh,
dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh. Al-Qaththan menambahkan
bahwa nasikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli
tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya,
atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.
-244
No comments:
Post a Comment